Para Calon Kepala Daerah yang Gagal Dorong Akil Mochtar Bertaubat
Forum para calon kepala daerah yang pernah bersengketa di MK itu berharap Akil Mochtar tidak ragu mengungkap dugaan mafia di tubuh MK
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah calon kepala daerah yang kalah dalam sengketa pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK), mendatangi kantor KPK, Jakarta, Selasa (12/11/2013).
Para calon kepala daerah itu mengatasnamakan Forum Korban Putusan MK Berdaulat. Mereka hendak meminta izin pihak KPK agar bisa menemui tahanan kasus suap sengketa pemilukada, yakni mantan Ketua MK, Akil Mochtar, di Rutan KPK.
Namun, mereka tak bisa menemui Akil lantaran kedatangannya di luar jadwal kunjungan tahanan. Akhirnya, mereka diterima pihak Pengaduan Masyarakat (Dunmas) KPK. "Karena yang mau dijenguk tidak bisa dijenguk karena hari kunjungan Senin dan Kamis," kata juru bicara, Ahmad Suryono, usai bertemu pihak Dunmas KPK.
Suryono mengatakan, kedatangan forum ini adalah untuk mendorong agar Akil Mochtar mau mengungkap dugaan mafia peradilan di MK, khususnya terkait dengan putusan sengketa pemilukada.
"Kami ingin agar beliau membuka tuntas dugaan-dugaan adanya mafia di MK. Mengapa kami menganggap ada mafia? Karena bukti, fakta dan saksi mengarah ke sana dan bukti-bukti tersebut sudah kami serahkan ke Bareskrim untuk dilaporkan dan
diselidiki lebih lanjut," kata Suryono.
Forum para calon kepala daerah yang pernah bersengketa di MK itu berharap Akil Mochtar tidak ragu mengungkap dugaan mafia di tubuh MK. Cara ini bisa menjadi jalan bagi Akil untuk bertaubat atas dosa yang ia lakukan dalam kasusnya.
"Jadi, mungkin ini cara pak Akil untuk bertaubat, Taubatan Nasuha untuk menebus dosa. Caranya adalah mengakui, buka aja semua. Jangan khawatir, kami dari Sabang sampai Merauke siap mengawal, siap melindungi beliau. Jadi, kami mohon, kami ini korban, tapi dengan berbesar hati, kami datang kepada beliau yang meminta beliau mengungkap mafia putusan MK," kata dia.
Putusan sengketa pemilukada di MK yang diduga terjadi permainan mafia, yakni Kota Palembang, Kabupaten Empat Lawang, Kabupaten Banyuasin, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Paniai Papua, Kota Kediri, Kota Waringin Barat, Kabupaten Citarup, Kabupaten Kubu Raya, dan beberapa putusan sengketa pemilukada lainnya.
Pertemuan dengan pihak Dunmas KPK ini sekaligus untuk memberikan informasi tambahan atas laporan para calon kepala daerah itu sebelumnya.
Informasi yang diberikan oleh mereka, di antaranya peran Muhtar Effendi, yakni orang yang diduga agen dari Akil Mochtar untuk wilayah Sumatera.
"Misalnya, siapa dia, apa temuannya, kenapa beliau bisa masuk Palembang, itu
sudah kami sampaikan. Kami yakini betul ini mafia, bukan sendirian Pak Akil, ini adalah kerjaan sistematik, terstruktur, dan masif," kata dia.
Calon Bupati Banyuasin, Hazuar Bidui, yang ikut dalam forum tersebut mengaku dirinya sempat ditemui dan dimintakan dana Rp 20 miliar oleh Muhtar Effendi saat sengketa pemilukadanya berproses di MK. Namun, Hazuar tidak memenuhi permintaan orang yang mengaku sebagai utusan MK dan sepupu Akil Mochtar tersebut.
"Pak Muhtar Effendi itu orang Kalimantan, tapi tinggal dan dia 'main' di Sumatera Selatan. Dia bicara dengan kita soal uang itu pada 21 Juni 2013, di Hotel Aryaduta Palembang," ujar Hazuar.
Calon Wali Kota Palembang, Sarimuda, mengaku pernah dihubungi seorang yang mengaku dari perwakilan MK. Orang tersebut meminta dana sekitar Rp 10 sampai Rp 15 miliar agar perkaranya di MK bisa dimenangkan oleh Akil Mochtar.
"Saya ditelepon, dia minta duit sampai Rp 15 miliar. Tapi, saya enggak tau siapa dia, saya tanya siapa namanya, dia enggak mau sebut namanya," kata Sarimuda.
Hal yang sama juga menimpa calon Bupati Empat Lawang, Joncik Muhammad.
Joncik mengaku dihubungi oleh orang yang bernama Muhtar Effendi. Dan Muhtar meminta dana sebanyak Rp 15 miliar agar perkaranya di MK bisa dimenangkan oleh Akil Mochtar selaku ketua majelis sidang.
"Dia telepon saya. Dia mengatakan, saya Mouhtar Effendi, minta disiapkan dana Rp 15 miliar untuk Akil Mochtar. Katanya, 'Pak di MK enggak bisa murni hukum, kalau enggak kamu bisa kalah'. Saya enggak percaya, saya bilang, kamu cuma mau memeras saja. Tapi, saat putusan, ternyata benar saya kalah," tutur Joncik.