Kuku Usman-Harun Dicabut Agar Mengaku Eksekutor Bom
Saksi perjalanan hidup prajurit KKO Usman-Harun menuju tiang gantungan di Singapura, Herman Thio mengatakan, pada saat dipenjara
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BATAM -- Saksi perjalanan hidup prajurit KKO Usman-Harun menuju tiang gantungan di Singapura, Herman Thio mengatakan, pada saat dipenjara, keduanya mendapatkan siksaan yang sangat berat sehingga akhirnya mengaku sebagai pelaku pengeboman di Orchad.
Usman dan Harun mengaku melakukan pengeboman di gedung MDH, setelah tidak tahan disiksa polisi Singapura. Jika mereka tidak mengaku, tambah Herman, polisi Singapura tidak akan tahu sampai saat ini karena tidak ada bukti.
Sementara ia yang juga bertugas melawan Singapura, tidak pernah mengaku walaupun disiksa seberat apapun. Akhirnya ia dibebaskan karena tidak ada bukti apapun.
"Usman dan Harus setelah mengaku yang melakukan pengeboman di gedung MDH, keduanya mendapatkan fasilitas yang enak-enak. Berbeda saat sebelum mengaku, sebelumnya keduanya disiksa habis-habisan. Sama dengan saya, selain ditelanjangi, juga dipaksa duduk diatas es batu tanpa sehelai pakaian yang menempel di badan. Polisi Singapura menyiksanya tidak tanggung-tanggung, sebelum mengaku seluruh jari kuku-kuku ditusuk dengan jarum. Badan dipukul lebih dari binatang,"kenang Herman.
Setelah keduanya mengaku karena sudah tidak tahan, turut Herman, Usman dan Harun mendapatkan fasilitas yang enak-enak. Makan dan rokok tidak pernah terlambat. Bahkan apapun yang diminta selalu dipenuhi.
"Tiga hari sebelum tiba waktunya saya dihukum gantung, saya kembali ditanya oleh Polisi Singapura. Tapi sebelumnya saya sudah habis-habisan disiksa, saya tidak mengaku sebagai pejuang RI. Terakhir saat ditanya itu, saya mengaku keberatan akan dihukum gantung. Saya mengaku bukan warga negara Singapura, saya mengaku lahir di Tanjung Batu. Akhirnya Polisi Singapura itu memeriksa ke Tanjung Batu tempat kelahiran saya, setelah ditemukan keluarga saya di Tanjung Batu, akhirnya saya tidak jadi di hukum gantung. Saya dikembalikan ke Malaysia karena tidak terbukti bersalah,"ungkap Herman.
Sehari sebelum dikembalikan ke Malaysia, ingat Herman, Usaman dan Harun sempat menitipkan satu pucuk surat untuk keluarganya di Indonesia. Surat tersebut tidak jadi diberikan kekeluarganya, karena saat akan dikirim ke Malaysia satu helaipun pakaian nya tidak diperbolehkan dibawa oleh polisi Singapura.
"Surat yang dititipkan Usman dan Harun itu, saya simpan dalam jahitan baju yang saya pakai. Ternyata baju yang saya pakai itu tidak boleh dibawa, baju yang boleh dibawa, baju yang sudah dipersiapkan Polisi Singapura. Tinggal lah surat itu dalam jahitan baju itu, entah masih ada baju itu disimpan pemerintah Singapura, kalau masih ada, tentu bisa kita baca isi surat itu,"ungkap Herman.
Setelah sampai di Malaysia, ia bersama ribuan sukarelawan Indonesia yang membantu Malaysia dijemput oleh pemerintah Indonesia menggunakan kapal perang buatan Tokyo, Jepang. Setelah sampai di Tanjung Priok, Jakarta, kata Herman, ribuan sukeralawan RI kalau itu disambut oleh Ibu Tien Soeharto. Saat Itu Presiden RI, Soeharto sedang melakukan perundingan dengan pejabat tertinggi pemerintah Singapura, Lee Kuan Yew di Tokyo.
"Entah bagaimana, perundingan untuk pembebasan Usman dan Harun itu gagal. Akhirnya beberapa bulan saya bebas, terdengar kabar dua KKO RI, Usman dan Harun dieksekusi dengan cara di gantung. Mendengar kabar itu, seluruh KKO di Indonesia sudah siap-siap melakukan perlawanan ke Singapura. Markas di Pulau Sambu tempat keduanya berangkat pun juga sudah siaga penuh untuk berangkat ke Singapura. Tapi tidak jadi, Soeharto cepat datang dari Tokyo menghentikan perlawanan KKO. Kalau tidak cepat turun, mungkin Singapura tidak seperti sekarang ini,"ungkap Herman.
Terkait protes pemberian nama kapal perang baru KRI Usman-Harun yang akan melukai rakyat Singapura, terutama korban bom Mac Donald House (MDH), kata Herman, pemerintah Singapura sudah berlebihan. Pemerian nama kapal KRI TNI AL dengan nama Usman-Harun, tambahnya, sudah menjadi hak negara Indonesia untuk mengenang jasa para pahlawannya.
"Singapura terlalu berlebihan mengatur negara Indonesia, mentang-mentang uang pemerintah Singapura itu sudah banyak dimakan pejabat Indonesia. Tidak bisa seenaknya mengatur negara orang, yang punya negara Indonesia ini bukan pejabat-pejabat Indonesia yang sudah menerima uang pemerintah Singapura itu. Negara Indonesia ini yang punya raknyat Indonesia. Usman dan Harun itu gugur dalam melakukan tugas negara, bukan tugas pejabat negaranya. Keduanya pahlawan seluruh rakyat Indonesia,"pungkas Herman kepada Tribun. (Aprizal)