Syifa Otak Aksi Kekerasan Terhadap Ade Sara
diotaki oleh Assyifa Ramadhani (18) dan bukan Ahmad Imam Al Hafitd (19)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berdasarkan sejumlah fakta yang diungkap polisi, serta keterangan dan informasi dari berbagai sumber yang terpublikasi, Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menilai dalam kasus tewasnya Ade Sara Angelina (18), mahasiswi Bunda Mulya yang jenasahnya dibuang di Tol Bintara, Bekasi, diotaki oleh Assyifa Ramadani (18) dan bukan Ahmad Imam Al Hafitd (19).
Seperti diketahui, Syifa dan Hafitd adalah pasangan kekasih yang ditetapkan menjadi tersangka pembunuhan terhadap Sara, mantan kekasih Hafitd.
"Berbeda dengan anggapan kebanyakan orang, saya justru menduga Syifa adalah otak dibalik aksi tersebut. Sekali lagi, bukan otak aksi membunuh, tetapi otak aksi menyakiti Sara," ujar Reza kepada Minggu (9/3/2014).
Sejak awal Reza menganalisa bahwa apa yang dilakukan Hafitd dan Syifa terhadap Sara kecil kemungkinan sebagai sebuah pembunuhan berencana. Reza menganggap niat keduanya hanya ingin menyakiti Sara, namun justru mengakibatkan Sara tewas.
Ini disebutnya pembunuhan yang tak disengaja atau accidental murder. Menurut Reza, rangkaian perilaku Syifa, sebelum aksinya, kurang terekspos oleh media massa.
"Penyebabnya, barangkali karena media massa 'terperangkap' pada anggapan umum bahwa 'lelakilah yang pasti menjadi otak kejahatan'," kata pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini.
Reza menuturkan kecilnya kemungkinan Hafitd otak dari aksi untuk menyakiti Sara, juga tampak dari motif Hafitd menyakiti Sara seperti yang dikatakan polisi, yakni sakit hati karena Sara tidak mau lagi bertemu dengan Hafitd.
"Saya sakit hati karena Sara tidak mau berkomunikasi lagi dengan saya. Kurang lebih begitu kata Hafitd. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan Hafitd adalah memulihkan hubungan yakni setidaknya pertemanan dengan Sara. Dan syarat agar itu terealisasi adalah Sara harus tetap hidup. Tapi kok Sara malah tewas?," kata Reza.
Selain itu, dari motif ini, kata Reza, sejak awal ia menduga Hafitd dan Syifa hanya ingin menyakiti Sara saja.
"Tetapi terjadi sesuatu yang di luar antisipasi Hafitd sendiri dimana Sara tewas. Istilah populernya adalah Collateral Damage," kata Reza yang juga mengajar sebagai dosen Psikologi di Universitas Bina Nusantara ini.
Collateral Damage adalah suatu akibat atau efek sampingan yang terjadi karena tidak disengaja. Karenanya Reza menganggap yang dilakukan keduanya hanyalah sebatas accidental murder, atau pembunuhan yang tidak disengaja dan bukan intentional murder atau pembunuhan yang disengaja atau pembunuhan yang menjadi fokus utama dan bahkan direncanakan.
Jika aksi pembunuhan berencana disimpulkan polisi dari hasil interogasi atau hasil keterangan kedua tersangka, maka menurut Reza, telah terjadi false confession atau pengakuan keliru oleh Hafitd dan Syifa.
Pengakuan keliru atau false confession muncul pada mereka, karena pascaperistiwa tewasnya Sara yang tidak disengaja, kondisi jiwa Hafitd dan Syifa terguncang.
"Ditambah lagi fisik mereka letih, psikis terguncang, lalu mereka dicecar polisi. Mereka belum berada dalam kondisi yang cukup bugar atau fit untuk menjalani interogasi polisi," kata Reza.
Akibatnya, keluarlah pengakuan keliru atau false confession tersebut, sehingga polisi menganggap mereka merencanakan pembunuhan ini dengan matang.
Menurut Reza dalam catatannya di banyak negara, baik negara maju atau berkembang, false confession atau pengakuan keliru dari tersangka, kerap sering terjadi.
"False Confession adalah fenomena yang sangat sering berlangsung dalam ranah interogasi kepolisian di semua negara, dan kadang polisi sendiri tidak sadar bahwa pendekatan kerja mereka juga turut memicu keluarnya false confession tersebut," papar Reza. (Budi Sam Law Malau)