Skandal Fasilitas BLBI Dikhawatirkan Terulang Jika PDIP Berkuasa
Skandal fasilitas BLBI di masa rezim pemerintahan Megawati Soekarnoputri dikhawatirkan kembali terulang jika PDIP berkuasa.
Penulis: Danang Setiaji Prabowo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skandal fasilitas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di masa rezim pemerintahan Megawati Soekarnoputri dikhawatirkan kembali terulang jika PDIP berkuasa.
Kekhawatiran tersebut mencuat setelah pengumuman calon Presiden (capres) dari PDIP yakni Jokowi, dilakukan sehari setelah para pengusaha bertemu Megawati di DPP PDIP. Padahal dalam skandal fasilitas BLBI, banyak pengusaha yang disebut-sebut menikmati penyalahgunaan fasilitas tersebut.
Menurut Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Taufik Bahauddin, kasus seperti penyalahgunaan fasilitas BLBI dan penjualan aset negara kala pemerintahan dikuasai PDIP bisa saja terulang jika PDIP kembali berkuasa pada pemilu 2014.
"Bisa saja terulang. Kan bukan BLBI saja. Jual Indosat, jual kapal tanker VLCC Pertamina, jual gas murah ke China. Nanti (kalau kembali berkuasa) bentuknya bisa lain lagi," ujar Taufik kepada Tribunnews.com, Selasa (25/3/2014).
Taufik memaparkan alasannya kejadian serupa bisa kembali terulang dikarenakan kualitas berpikir pemimpinnya. Meski mengusung capres Jokowi, namun sudah menjadi rahasia umum kalau Jokowi sangat manut terhadap apapun yang diperintahkan Megawati. Taufik pun mempertanyakan posisi pimpinan PDIP terhadap anggotanya yang terbukti terlibat kasus korupsi.
"Putusan seseorang adalah gambaran kualitas berpikirnya. Itu semuanya kan nyangkut ke korupsi. Kalau pola berpikirnya seperti itu, nilai-nilainya tidak berubah. Merasa malu tidak? Kan kira-kira begitu," tuturnya.
Mengenai upaya PDIP yang mengangkat sosok Jokowi sebagai capres supaya 'dosa' lama tak kembali diingat, Taufik menilai hal itu tidak berpengaruh. Apalagi, kata Taufik, Jokowi sebenarnya belum benar-benar teruji mengatasi masalah Jakarta.
"Dia (Jokowi) kan belum teruji. Di Jakarta sudah berhasil apa? Pencitraannya blusukan. Yang kita perlukan hasilnya apa, yang dinikmati rakyat. Ini kan belum. Monorail macet, pengadaan bus Transjakarta korup juga," paparnya.
Seperti diketahui, penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) membuat kasus BLBI dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Agung di masa pemerintahan Megawati.
SKL BLBI diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No.8/2002. Berdasarkan SKL dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Belakangan diketahui bahwa perilaku debitur BLBI diduga penuh tipu muslihat. Debitur BLBI mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya mengembalikan BLBI dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN.
Namun saat aset-aset itu dilelang BPPN dengan harga sangat murah, para obligor membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan miliknya yang berdomisili dan beroperasi di luar negeri. Aset tetap dikuasai debitur, sementara debitur bersangkutan sudah dinyatakan bebas dari kewajiban mengembalikan dana BLBI.
Adapun dari beberapa debitur yang menyerahkan aset kepada BPPN, kasus penyerahan aset oleh Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI paling menyita perhatian karena perhitungannya dinilai tidak akurat.
Dugaan ketidakjujuran Sjamsul Nursalim terendus ketika mantan Jaksa Urip Tri Gunawan (kini berstatus terpidana), ditangkap KPK di pekarangan rumah Sjamsul Nursalim di Jakarta Selatan. Jaksa Urip adalah anggota tim penyelidik untuk kasus penyerahan aset obligor BLBI. Di Pengadilan, Urip terbukti menerima suap dari Artalyta Suryani, orang kepercayaan Sjamsul Nursalim.
Mantan petinggi era pemerintahan Megawati Soekarnoputri pun satu persatu dipanggil dan diperiksa KPK terkait SKL BLBI. Mulai Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, hingga Putu Arry Sutta. Bahkan di pertengahan Mei 2013, terdengar kabar Megawati juga akan dipanggil KPK sebagai saksi kasus SKL BLBI.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.