Ketika Jaksa dan Sri Mulyani Saling Ngotot di Persidangan Bank Century
Sejumlah alasan logis disampaikan perempuan Indonesia yang kini menjadi Managing Director Bank Dunia itu
Penulis: Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani 'adu ilmu' dengan jaksa dari KPK dan majelis hakim perihal alasannya sewaktu Ketua Komite Stabilias Sistem Keuangan (KSSK) menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik pada 20-21 November 2008, hingga akhirnya dikucurkan Rp 6,7 triliun uang negara ke bank sakit tersebut melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Sejumlah alasan logis disampaikan perempuan Indonesia yang kini menjadi Managing Director Bank Dunia itu. Namun, pada akhirnya, Sri Mulyani mengakui dirinya tidak mempunyai tolak ukur dalam menyimpulkan masalah keuangan BC berdampak sistemik pada saat itu.
Pengakuan itu diutarakan Sri Mulyani saat menjadi saksi persidangan perkara korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, dengan Terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Budi Mulya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (2/4/2014).
Dalam durasi lebih tiga jam, pasukan jaksa dari KPK, mencecar Sri Mulyani tentang alasan dirinya selaku Ketua KSSK memutuskan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik pada rapat KSSK 20-21 November 2008.
Sri Mulyani mengatakan, latar belakang penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik karena adanya krisis global, termasuk krisis perbankan di Amerika Serikat yang berawal macetnya kredit perumahan pada September 2008. Hal itu mulai berdampak pada perbankan di Indonesia.
Sri Mulyani mengakui, dalam beberapa kali rapat KSSK yang juga dihadiri beberapa pejabat BI, seperti Boediono, belum muncul kesimpulan bahwa masalah keuangan BC jika tidak diselamatkan akan berdampak sistemik. Keputusan bahwa BC adalah bank gagal berdampak sistemik baru diputuskan saat rapat KSSK yang dihadiri beberapa pihak, termasuk Gubernur BI saat itu, Boediono, pada rapat 20-21 November 2008.
Bahkan, Sri Mulyani pun mengakui dirinya semula tidak yakin masalah yang dihadapi BC akan berdampak sistemik terhadap perbankan Indonesia, termasuk saat rapat KSSK pada 17 November 2008 atau beberapa hari sebelum diputuskan.
Sebab, data dan informasi tentang kondisi BC dari pihak BI tidak disampaikan secara rinci dan akurat. Selain itu, Sri Mulyani mengakui ketidakyakinannya itu karena pemberian FPJP kepada BC adalah tidak tepat mengingat masalah yang dihadapi oleh BC adalah insolvensi.
Kepada jaksa, Sri Mulyani mengatakan, pemaparan data dan informasi tentang kondisi BC dari BI lebih baik pada saat rapat KSSK 19 November 2008. Namun, ia tak bisa menjawab pertanyaan jaksa, apakah data yang diberikan oleh BI sehari menjelang pengambilan keputusan itu meyakinkan dirinya bahwa masalah BC berdampak sistemik.
"Apa saat menentukan Bank Century berdampak sistemik dalam rapat tanggal 20 dan 21 November, apa data dari BI sudah memenuhi syarat bahwa Bank Century itu sistemik?" tanya jaksa Ahmad Burhanudin.
Dan Sri Mulyani mengklaim bahwa saat itu kondisi keuangan BC sudah berdampak sistemik jika tidak diselamatkan melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Bank Century atau bank apapun pada hari itu akan menimbulkan dampak sistemik, karena saat itu sistem kepercayaan (nasabah) begitu sangat rapuh," jawab Sri Mulyani.
Jaksa Burhanudin terus mencecar Sri Mulyani tentang tolak ukur pemberian 'stempel' masalah BC akan berdampak sistemik.
"Kan tadi Anda minta data lebih akurat dan jelas ke BI supaya bisa menentukan ini sistemik atau tidakk. Dan Anda berpendapat sistemik itu dtentukan oleh krisis global. Lalu, apakah waktu menentukan sistemik itu Anda abaikan data BI?" cecar jaksa Burhanudi.
Sri Mulyani langsung membantahnya. Ia kembali menegaskan, bahwa dirinya dirinya selaku Ketua KSSK saat itu hanya berusaha mencegah dan menangani terjadi krisis keuangan di Indonesia.
Ia mengaku dalam pengambilan keputusan saat itu berpegangan selain data dari BI, yakni tingkat rasa aman para nasabah yang menyimpan dananya di bank. Rasa aman dari 65 ribu nasabah yang menyimpan dana kurang Rp 2 miliar dengan jaminan pemerintah dan 574 nasabah yang menyimpan dana lebih Rp 2 miliar tanpa jaminan pemerintah.
Sri Mulyani yakin saat itu rasa aman para nasabah tersebut sudah rontok setelah adanya krisis global.
Pun demikian, pada akhirnya Sri Mulyani mengakui tidak ada tolak ukur pemberian 'stempel' berdampak sistemik pada masalah BC tersebut.
"Saya mohon majelis hakim, karena jaksa ingin menanyakan apa sistemik bisa diukur dan didefinisikan, dari sisi pengalaman negara manapun, bahkan Peraih Nobel tahun lalu, Prof Hanses, atau Ckhaelir, termasuk literatur sistemik, saya bisa memberi testimoni soal sistemik atau tidak, sejauh kita ingin mengukur pada pengambilan kebijakan di mana saja, itu banyak hal yang sifatnya tidak terukur," kata Sri Mulyani.
"Tapi, kan kita bisa melihat, saya bisa merasakan seperti bapak-bapak di sini yang menaruh uangnya di bank, saya yakin bapak-bapak hari ini tidak khawatir karena mersa aman. Rasa aman walaupun tidak terukur, tapi itu ada. Dalam sistem keuangan, basisnya adalah rasa aman," imbuhnya.
Jaksa Burhanudin terus mencecar Sri Mulyani. Ia menanyakan ada tidaknya simulasi dari BI bahwa jika BC gagal akan berdampak sistemik. Dan Sri Mulyani mengakui simulasi seperti itu tidak ada.
Sri Mulyani mengaku hanya mendapatkan data dari BI, bahwa ada 5 bank yang memiliki kondisi yang mirip seperti BC dan 18 bank lainnya mengalami likuiditas.
Jaksa Burhanudin masih ragu atas keputusan Sri Mulyani menyelamatkan BC karena bank tersebut bank gagal berdampak sistemik. Sebab, ada beberapa peserta rapat KSSK pada 20-21 November 2008, yang tidak yakin masalah keuangan BC tidak berdampak sistemik jika tidak diselamatkan.
Sri Mulyani mengakui hal itu. Menurutnya, pendapat para peserta rapat KSSK itu menjadi pertimbangan semata keputusan dirinya.
"Kalau lihat traksrip (rapat) lagi, meski narsum yang hadir itu kurang yakin, tapi dalam rapat sebelum itu kita sudah membahas kemungkinan Bank Century diselamatkan kalau berdampak sistemik," kata Sri Mulyani.
Ia menegaskan, dirinya berani memutuskan menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik karena dirinya selaku Ketua KSSK saat itu bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya krisis. "Itu terbukti perkekonmian Indonesia tidak terkena krisis global pada saat itu. Kita termasuk negara berkembang yang paling baik dari sisi ekonomi pada 2009," kata dia.
Sri Mulyani kembali berdebat sengit saat melayani cecaran pertanyaan Ketua Tim Jaksa dari KPK, KMS Roni, tentang alasan penetapan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Jaksa Roni menanyakan krisis ekonomi global yang berimbas pada perbankan Indonesia pada 2008. Sri Mulyani tampak kesal lantaran ia merasa sudah menjelaskan mengenai itu pada awal persidangan.
"Bapak jaksa ini bagaimana, apa saya harus ulangi lagi? Krisis dari rusaknya perbankan memang belum terjadi, saya mencegah itu karrna tanda-tanda menuju ke situ sudah nyata," jawab Sri Mulyani.
Jaksa Roni terus mencecarnya. Sebab, Gubernur BI saat itu, Boediono, menyatakan kondisi perbankan Indonesia sehat, namun bertentangan dengan potensi krisis yang menjadi alasan Sri Mulyani.
Bagi Sri Mulyani, apa yang dilakukan Boediono itu semata untuk menjaga agar masyarakat, khususnya para nasabah tidak panik.
Sri Mulyani menceritakan, kondisi masyarakat tetap aman dan tenang pada 2009 atau setelah BC diberi dana talangan melalui LPS.
Kondisi itu justru menjadi bahan pertanyaan lanjutan jaksa Roni. Sebab, faktanya uang yang dikucurkan kepada BC tersebut adalah milik negara. "Memang, kalau ketenangan masyarakat itu berapa kira-kira nilainya," tanya balik Sri Mulyani.
Jaksa Roni menjawab, bahwa ketenangan masyarakat itu tidak bisa diukur. Namun, penilaian jaksa itu langsung ditimpali oleh Sri Mulyani. "Bisa dong," timpalnya.
Menurut Sri Mulyani, ketenangan masyarakat itu bisa diukur dengan melihat pergerakan dana Rp 1.700 triliun dari 82 juta pemilik rekening di seluruh bank saat itu.
Ia menegaskan, bahwa keputusan yang telah diambilnya dalam menetapkan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik saat itu bisa dipertanggungjawabkan. "Sebuah keputusan bisa dipertanggungjawabkan," tandasnya.
Namun, Sri Mulyani makin tak 'berkutik' saat jajaran majelis hakim mencecarnya dengan pertanyaan yang sama, yakni tentang alasan utama dan acuan bahwa kondisi BC bisa berdampak sistemik jika tidak diselamatkan.
"Saudara mengatakan, untuk menentukan sistemik atau tidak itu tidak ada indikator yang pasti kan, tapi (di sisi lain) Saudara mengatakan keamanan masyarakat pemilik uang di bank itu bisa kita lindungi. Dengan begitu, apakah Saudara mengambil keputusan berdampak sistemik ini berdasarkan perasaan atau feeling atau insting?" tanya hakim Made Hendra.
Dan Sri Mulyani akhirnya membenarkan bahwa dirinya selain 'bermodal' data dari BI tentang kondisi BC dan tingkat rasa aman nasabah, juga menggunakan insting dalam pengambilan keputusan bahwa BC adalah bank gagal berdampak sistemik jika tidak diselamatkan.
"Kalau sebagai pengambil keputusan kami membuat berdasarkan pikiran, perasaan mungkin juga dalam hal ini insting," ungkapnya.
Mendengar jawab seperti itu, hakim Made Hendra mencecar Sri Mulyani tentang ada atau tidak teori ekonomi yang mendukung acuan keputusan itu adalah insting.
"Saya menggunakan rasionalitas bahwa resiko yang dihadapi sitem perekonomian kita jauh lebih besar, kalau saya tidak membuat keputusan yang tepat," jawab Sri Mulyani.