KPK Boleh Panggil Paksa SBY dan Ibas
KPK telah mengirimkans urat panggilan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, dan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsunya.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengirimkans urat panggilan kepada Susilo Bambang Yudhoyono, dan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsunya.
Pihak dipanggil telah menyatakan menolak memberi kesaksian yang meringankan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Sebenarnya, pihak KPK dapat memanggil paksa SBY sekalipun posisinya sebagai presiden.
Kuasa hukum mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Firman Wijaya mengatakan, KPK bisa memanggil paksa Presiden SBY dan Edhie Baskoro Yudhoyono alis Ibas sebagai saksi meringankan (a de charge) untuk Anas terkait kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dan lainnya. Keduanya merupakan saksi fakta atas perkara korupsi yang menjerat Anas.
"Panggilan paksa bisa saja dilakukan, kalau memang ya ada kesungguhan. Ini kan saya rasa semua instrumen bisa digunakan, kalau kita sepakat equality before the law (persamaan di depan hukum)," kata Firman usai mendampingi pemeriksaan Anas di kantor KPK, Jakarta, Senin (5/5) kemarin.
"Persoalannya KPK berani tidak melakukan panggil paksa," imbuhnya.
KPK telah mengirimkan surat panggilan pemeriksaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat Ketua Umum Partai Demokrat dan Ibas selaku Sekretaris Jenderal PD sebagai saksi meringankan (a de charge) bagi mantan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek Hambalang dan lainnya.
Surat tersebut dikirimkan KPK pada 28 April 2014 lalu. "Benar, penyidik KPK telah mengirimkan surat kepada SBY dan Edy Baskoro, terkait permintaan menjadi saksi meringankan atas permintaan tersangka AU pada tanggal 28 April lalu," kata juru bicara KPK, Johan Budi, melalui pesan singkat, Senin (5/5).
Anas Urbaningrum, selaku tersangka penerima gratifikasi atau janji terkait proyek Sport Center di Hambalang dan proyek lainnya, mengajukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan putranya, Iba, sebagai saksi meringankan ke KPK sejak 11 April 2014.
Menurut anggota tim kuasa hukum Anas, Firman Wijaya, SBY selaku petinggi Partai Demokrat dan Presiden RI diajukan sebagai saksi untuk kasus Anas karena dia sebagai pemberi uang 250 juta Dollar AS ke Anas, yang uangnya digunakan oleh Anas sebagai uang muka pembelian Toyota Harrier.
Dan selama ini, mobil tersebut diduga pihak KPK sebagai barang gratifikasi pemberian perusahaan pemenang tender proyek Hambalang, PT Adhi Karya.
Sementara, putra bungsu SBY yang juga Sekjen PD, Ibas dianggap penting dihadirkan sebagai saksi meringankan karena dia sebagai Ketua Steering Committee (SC) atau panita pengarah Kongres Partai Demokrat di Bandung, Jawa Barat pada Mei 2010.
Sebab, selama ini diduga ada dana terkait proyek Hambalang dan proyek lainnya mengalir, termasuk pembiayaan dalam kongres yang dimenangkan oleh Anas sebagai Ketua Umum PD itu.
Selain alasan itu, Anas menginginkan SBY menjadi saksi untuk kasusnya lantaran ada 'pertemuan
khusus' antara dirinya, SBY dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi di Wisma Negara sebelumnya pelaksanaan Kongres PD di Bandung pada Mei 2010.
Dalam pertemuan itu dibahas tentang perebutan posisi Ketua Umum PD dalam kongres PD nantinya.
Presiden SBY dan Ibas menolak panggilan pemeriksaan pihak KPK menjadi saksi meringankan (a de charge) mantan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek Hambalang dan lainnya.
Anggota tim kuasa hukum Anas, Adnan Buyung Nasution mengatakan, di sela pemeriksaan Anas, penyidik KPK memberitahukannya, SBY dan Ibas menolak menjadi saksi meringankan untuk Anas terkait kasusnya.
"Anas cuma minta satu hal, tadi KPK sudah menjawab. Minggu lalu, Anas minta supaya dipanggil menjadi saksi meringankan, Ibas sama SBY. Dan KPK sudah memanggil, tapi Ibas maupun SBY tidak bersedia. Minggu lalu sudah dipanggil. Jawabannya minggu ini, hanya dua lembar jawabannya," kata Buyung.
Buyung mengatakan, SBY dan Ibas memberikan jawaban atas panggilan KPK melalui surat tertulis sebanyak dua lembar. Namun, penyidik KPK tidak memberitahukan alasan SBY dan Ibas menolak menjadi saksi meringankan untuk Anas ini.
"Jawaban SBY dan Ibas ke KPK, mengenai apa isinya, KPK yang mesti menjelaskan. Alasannya, hanya bilang tidak bersedia aja," ujar Buyung.
Menurut Firman, tanpa harus diajukan menjadi saksi meringankan, semestinya KPK memeriksa SBY dan Ibas sebagai saksi. Sebab, keduanya merupakan saksi fakta atas perkara Anas. "Kan bisa saja menjadi saksi fakta. Karena di sini kan persoalan yang bertanggung jawab yuridis terkait dengan proses kongres itu," kata Firman.
"Meringankan atau memberatkan, saksi fakta, kan penyidik yang menilai. Kami sebagai penasihat hukum melihatnya ini saksi fakta," katanya.
Firman menyadari KUHAP mengatur pemanggilan paksa aparat penegak hukum dilakukan setelah yang bersangkutan tidak hadir tanpa memberi alasan jelas setelah dua panggilan pemeriksaan sebelumnya.
"Tapi, saya rasa, semua demi kepentingan hukum, instrumen hukum apapun bisa dilakukan," kata dia.
Namun, Pasal 216 KUHAP mengatur seseorang tidak serta merta menolak memberikan keterangan tanpa alasan yang jelas menurut hukum. Pasal 216 KUHAP mengatur,
"Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda puling banyak sembilan ribu rupiah. Rumusan ini tegasnya menentukan terhadap pelanggaran saksi yang tidak menghadiri pemanggilan dari Penyidik.
Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan ini merupakan perbuatan yang mengabaikan (een nalaten)?"
"Saya rasa instrumen pemanggilan paksa itu bisa menjadi instrumen terakhir yang bisa dilakukan, demi fairness (asas keadilan) dalam kasus Anas Urbaningrum. Kalau ini tidak dilakukan, ya wajar saja, kami merasakan," ucap Firman."Tapi, sebenarnya ini aspek pertanggungjawaban pidana."