Wakil Ketua KPK Sebut Boediono Sepelekan Pengadilan
"Pernyataan itu sangat menyepelekan pengadilan, kalau tidak mau disebut menghina pengadilan," tulis Bambang.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto meragukan pernyataan Wakil Presiden RI Boediono saat menanggapi putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi soal pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) Bank Indonesia kepada Bank Century. Jika memang benar, kata dia, Boediono telah menyepelekan pengadilan.
"Pernyataan itu sangat menyepelekan pengadilan, kalau tidak mau disebut menghina pengadilan," tulis Bambang melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Kamis (17/7/2014).
Dia mengatakan, dalam penyidikan, KPK telah memeriksa lebih dari 100 orang saksi dan puluhan saksi juga telah diperiksa di pengadilan. Selain itu, kata Bambang, saksi dari Bank Indonesia dan lembaga lain juga diperiksa sebagai pihak yang terlibat dalam proses pembuatan FPJP.
Dari keterangan saksi dari BI dan lembaga lain tersebut, Bambang menjelaskan bahwa kucuran dana kepada Bank Century yang diputuskan oleh mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya dinyatakan melawan hukum.
Dengan demikian, pernyataan soal kompetensi yang dilontarkan Boediono dipertanyakan karena hal itu ditentukan oleh majelis hakim.
"Faktanya, jubir dan Pak Boediono tidak ikut persidangan sehingga bagaimana mungkin membuat kesimpulan bahwa majelis hakim hanya mempertimbangkan pihak yang tidak berkompeten," ujar Bambang.
Sebelumnya, Boediono menyatakan tidak setuju dengan putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa pemberian FPJP kepada Bank Century merupakan perbuatan melawan hukum. Hal itu disampaikan Boediono melalui juru bicaranya, Yopie Hidayat, dalam pesan singkat kepada wartawan, Kamis.
"Pak Boediono tidak sependapat dengan majelis hakim yang menyatakan bahwa pemberian FPJP adalah perbuatan yang melawan hukum," tulis Yopie.
Boediono juga menilai majelis hakim mengabaikan fakta persidangan yang muncul dari para ahli maupun pelaku industri perbankan yang menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia saat itu benar-benar terimbas krisis dan kegagalan satu bank bisa berdampak sistemik.
Majelis justru mempertimbangkan pihak yang tidak berkompeten.