Dianggap Berbahaya Jika BPK Diisi Politisi Parpol
Pemeriksaan yang dilakukan, tentunya berdasar kaidah-kaidah atau standar audit internasional.
Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejatinya merupakan lembaga yang memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sampai Daerah.
Pemeriksaan yang dilakukan, tentunya berdasar kaidah-kaidah atau standar audit internasional.
Ketua Badan Pengurus Pusat Pengembangan Informasi Publik (P2IP) Suryawijaya, Senin (22/9/2014) menjabarkan, dilihat dari kacamata akademis dan praktisi, BPK sebagai lembaga audit negara dan anggota dari INTOSAI (The International Organization of Suprame Audit Institutions).
Seharusnya, mengedepankan nilai-nilai dan konsep dasar audit serta kewibawaan BPK sebagai bagian dari organisasi BPK internasional.
INTOSAI telah mensyaratkan anggotanya termasuk BPK, untuk menerapkan standar audit internasional dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Sebagaimana halnya International Audit Standar yang diadopsi dalam Standar Pemeriksaan dan dianut oleh seluruh Akuntan Publik di Indonesia dan BPK, disebutkan bahwa setiap auditor/pemeriksa wajib untuk memiliki sikap independen terhadap obyek pemeriksaan maupun dengan auditee.
Tentu, lanjutnya, akan menjadi pertanyaan, bagaimana cara BPK bisa menerapkan independensinya jika Anggota BPK yang terpilih memimpin lembaga audit tertinggi di negara ini berasal dari partai politik.
Hal tersebut terkait hasil pemilihan tertutup anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2014-2019 pada Senin (15/9) lalu yang ternyata tak sesuai dengan harapan publik.
Pasalnya, dari lima kandidat yang terpilih, dua di antaranya adalah Anggota DPR yakni Harry Azhar Aziz (Golkar) dan Achsanul Qosasih (Demokrat).
Surya menilai, terpilihnya politisi Senayan untuk menjadi anggota BPK tidak lepas dari kelemahan UU No. 15 tahun 2006 tentang BPK terkait pasal persyaratan sebagai calon anggota BPK.
“Seharusnya di Pasal 13 UU BPK dicantumkan juga persyaratan untuk menjadi calon anggota BPK tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik tertentu. Ini celah yang terbuka sehingga partai politik bisa mencalonkan kadernya untuk duduk menjadi anggota BPK,” ungkap Surya.
Berbahaya sekali, ia mengingatkan, jika lembaga pemeriksaan ke depan berubah fungsi menjadi alat politik.
“Coba cek UU no. 15 tahun 2006 tentang BPK, pada pasal 28 huruf e menyebutkan bahwa anggota BPK dilarang menjadi anggota partai politik,” ujar Surya.
Secara harfiah, katanya lagi, dapat dipahami bahwa anggota BPK tidak boleh menjadi anggota partai politik.
“Namun kenyataan yang terjadi, paradoks dengan nilai-nilai yang diharapkan dari pemilihan anggota BPK yang lalu, dimana dari 5 Anggota BPK terpilih, 2 orang merupakan Anggota DPR RI aktif dari Komisi XI, yaitu Harry Azhar Azis (Fraksi Golkar) dan Achsanul Qosasih (Fraksi Demokrat). Ini kan istilahnya jeruk makan jeruk," kata Surya.
Sebaiknya, lanjutnya lagi, para pihak yang berkepentingan menjaga independensi BPK melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi tentang UU BPK, terutama dalam hal mekanisme pemilihan Anggota BPK.
Perlu adanya tambahan klausul persyaratan calon anggota BPK dengan penambahan persyaratan yang menyatakan bahwa calon anggota BPK bukan anggota atau partai pengurus partai politik.
"Sehingga dengan penambahan klausul itu, ke depannya BPK bebas dari kepentingan politik," ujar Surya.