Ini Alasan Dua Hakim Dissenting Opinion Terhadap Putusan Anas Urbaningrum
Tuntutan JPU dalam dakwaannya juga dianggap tidak memiliki landasan yuridis formil
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Dua anggota majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait perkara terdakwa kasus gratifikasi proyek Hambalang dan proyek lainnya, Anas Urbaningrum.
Menurut dua hakim tersebut, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dijatuhkan terhadap Anas tidak tepat. Dua hakim tersebut adalah Slamet Subagio dan Joko Subagio.
Hakim Slamet berpendapat dalam kasus Anas, KPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan TPPU sebagaimana terangkum dalam UU. No 8 Tahun 2010.
"Pertimbangan yuridis dan hukum formil adalah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tidak adanya kewenangan penuntutan dan penyidikan KPK dalam TPPU," kata Slamet dalam sidang pembacaan vonis perkara Anas di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Menurut dia, Anas tidak relevan dijerat dengan Pasal TPPU. Tuntutan JPU dalam dakwaannya juga dianggap tidak memiliki landasan yuridis formil. Kemudian, juga ditambah keterangan saksi ahli yang menyebutkan bila terdakwa menerima uang namun tidak bisa dibuktikan apakah itu hasil kejahatan atau tidak, maka ia tidak bisa dijerat.
"Selebihnya dissenting opinion ini diserahkan pada hakim ketua majelis," kata Slamet.
Pendapat serupa juga dinyatakan Joko Subagio. Walau demikian, keduanya menyerahkan keputusan akhir kepada hakim ketua, Haswandi.
Sebelumnya, JPU mendakwa dan menuntut Anas selama 15 tahun penjara oleh Jaksa dengan denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan atas kasus dugaan penerimaan gratifikasi proyek pembangunan sport center di Bukit Hambalang, dan proyek lainnya serta TPPU.
Mantan Ketua PB HMI ini juga dituntut untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan jumlah yang diperolehnya dari hasil korupsi, senilai Rp 94.180.050.000 dan USD 5.261.070 dan jika tidak membayar maka hartanya akan disita. Kemudian, Anas juga dituntut berupa pencabutan hak politiknya dan pencabutan ijin usaha pertambangan atas nama PT Arina Kotajaya.
Namun, dalam vonisnya hari ini, majelis hakim menjatuhkan vonis selama delapan tahun penjara dengan denda sebesar Rp 300 juta. Apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama tiga bulan.
Selain itu, Anas juga dihukum membayar uang pengganti kerugian negara yang jumlahnya yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebesar Rp57.590.330.580 dan USD5.261.070.
Atas perbuatannya Anas didakwa melanggara Pasal 12 huruf (a) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, dalam dugaan TPPU, dia didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 huruf C Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 25 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.