Tanggapi UU Pilkada, SBY Tidak Bisa Bedakan Jabatan Presiden RI dan Ketum Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak bisa membedakan antara Ketua Umum Demokrat dan Presiden RI.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik dari Sinergi Demokrasi untuk Masyarakat Demokrasi (SIGMA) Said Salahuddin menilai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak bisa membedakan antara Ketua Umum Demokrat dan Presiden RI.
Ia mengatakan apa yang disampaikan SBY terhadap hasil paripurna tidak jelas kapasitasnya sebagai presiden atau ketua umum Demokrat.
"Ini repotnya rangkap jabatan. Sebagai Ketum PD terlepas pernyataan SBY itu, sesuatu yang sungguh-sungguh atau sandiwara adalah wajar," kata Said di Jakarta, Minggu (28/9/2014).
Tetapi bila sebagai Presiden RI yang memegang kekuasaan eksekutif, Said mengatakan sikap SBY menyalahi etika.
"Dalam sudut tata negara itu hal clear. Presiden boleh ajukan RUU seperti RUU Pilkada ke DPR untuk dibahas bersama, tapi kekuasaan pembentuk UU ada di DPR. Dalam hal ini saya mau katakan kedudukan DPR lebih kuat dari Presiden, apalagi dia yang usulkan. Kedudukan DPR dan Presiden sederajat," ujarnya.
Namun ada pula kewenangan masing-masing institusi. "Kekuasaan pembentuk UU lebih kuat di DPR maka presiden tak pantas menyoal DPR, apapun yang diputuskan DPR," katanya.
Said mengatakan presiden memiliki kewenangan untuk mengesahkan RUU menjadi UU. Pengesahan UU dilakukan oleh Presiden dengan ditandatangani oleh SBY. Manakala Presiden tidak tandatangan UU itu tetap berlaku.
" Ini perbedaan sistem presidensil kita dengan di Amerika. Di sana Presiden nggak ada kewenangan untuk ajukan RUU, bahas RUU tapi dia punya kewenangan untuk hak veto. SBY sekalipun nggak sahkan RUU tersebut, tetap UU itu berlaku. Keliru pernyataan sejumlah kalangan SBY bisa beri veto,"ungkapnya.
Mengenai kemungkinan SBY akan menandatangani atau tidak UU tersebut, Said menilai terdapat dua alasan.
"Bisa saja tetap tandatangan dengan alasan konstitusional. Bisa saja dia argumen bahwa dirinya Presiden RI bukan Ketum. Ketidaksetujuan saya pada Pilkada oleh DPRD itu kapasistasnya sebagai Ketum, tapi sebagai Presiden dia bisa berkelit dia inisiator dan merasa perlu tandatangani," ujarnya.
"Kedua, bisa juga dia tidak tanda tangan untuk tunjukkan seolah-olah dia konsisten sebagai Presiden terhadap Pilkada lewat DPRD. Sikap ini diambil sekaligus mencari alasan pembenaran dari serangan yang bertubi-tubi menghajar dirinya, seperti #ShameOnYouSBY. Dia tidak tanda tangan UU itu akan berlaku," tambah Said.