Revolusi Mental Dinilai Butuh Akar Budaya
Sudah tiba akhir dari era penihilan budaya dalam instrumentasi perwajahan birokratik maupun teknokratik pembangunan nasional.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mempercayakan masa depan dengan tumpuan kearifan lokal yang berkelindan dengan basis ilmu pengetahuan modern adalah jalan tengah peradaban unggulan.
"Gagasan Revolusi Mental memberi peluang nilai-nilai kearifan tradisi, nilai nilai kebijaksanaan Adat Istiadat, nilai nilai Keteduhan Tutur Tinular dianjungkan pada meja persetujuan nasional sebagai referensi keadaban," kata Penggagas Kantin Kejujuran dan Sekolah Toleransi, Dody Susanto, dalam rilisnya, Senin (3/11/2014).
Dikatakan Dody, sudah tiba akhir dari era penihilan budaya dalam instrumentasi perwajahan birokratik maupun teknokratik pembangunan nasional.
"Garis-garis dan sentuhan budaya harus mewarnai lukisan maupun liukan profil keindonesiaan di masa depan. Kita berkepentingan memulai Revolusi Mental dengan menempatkan keunggulan budaya sebagai kekuatan domestik yang strategik setelah era tridenta kekayaan sumberdaya alam yaitu minyak mineral dan material bumi lainnya mulai menurun baik dari disisi kuantitas maupun kualitas," kata Direktur Klinik Pancasila ini.
Ditegaskan mendorong budaya sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah intoleran, kesenjangan dan perselisihan juga akan membentuk kepercayaan diri sebagai bangsa yang besar yang gandrung menuntaskan masalah dengan ramah bukan dengan marah marah.
"Reaksi keras bermunculan saat simbol kebudayaan lokal Indonesia dipakai sebagai ikon pariwisata Malaysia," kata Mantan Ketua Umum Karang Taruna Nasional 2000-2010 ini..
Kompas pada 26-27 agustus 2009 melakukan jajak pendapat di 10 kota. Mayoritas responden(97,6persen) menyatakan amat bangga dengan kebudayaan lokal yang mereka miliki. Bahkan, rasa bangga yang mereka ungkapkan sejalan pula dengan opini mereka (99,3 persen) yang menyatakan perlunya melestarikan produk budaya indonesia.
Artinya, menurut Dody, dari sisi penyikapan masyarakat tidak ada yang patut dikhawatirkan dengan ancaman tergerusnya produk budaya negeri ini akibat pola penyikapan warganya.
"Akan tetapi sikap keras dan rasa bangga yang mereka ekspresikan itu tidak serta merta menunjukkan interaksi masyarakat yang intens dengan produk produk budaya lokal mereka sendiri. Dengan kata lain ditataran praksis masyarakat sendiri sebenarnya tidak banyak mengenali dan mempraktekkan kebudayaan lokal mereka sendiri," kata dia.
Survei itu menyebutkan dari 866 responden yang berhasil dihubung,sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian(67,8 persen), musik dan lagu(68,8persen) pakaian(67,8persen) masakan(53,3persen) obat obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.
Namun untuk pengenalan obyek pariwisata lebih dari separuh responden tidak tahu banyak tentang obyek pariwisata di tanah air. Pengetahuan yang minim tentang kebudayaan lokal ini dibarengi pula dengan pengakuan mereka secara umum dalam mempraktekkan kebudayaan lokal mereka. Misalnya perilaku memakai pakaian tradisional dinyatakan oleh 67,9 persen responden.
"Pengalaman mendongeng cerita dari daerah daerah di tanah air jarang dilakukan diakui oleh 65,4 persen responden. Perbedaan proporsi yang cukup menyolok antara tataran praktik dan gagasan tentang kebudayaan lokal ini menunjukkan posisi kebudayaan lokal yang masih terpinggirkan. Dalam perspektif kapitalisme global yang mendorong masyarakat indonesia cenderung menerima produk produk budaya luar dibutuhkan penanganan lintas unsur agar distorsi yang terjadi tidak merugikan ketahanan nasional," kata pendiri SBY Fans Club ini.
Dari sisi lain, menurut dia, setiap budaya juga punya keunikan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi termasuk penyelesaian konflik berbasis kearifan lokal.
Misal dalihan natolu(tapanuli)rumah betang (kalimantan tengah) rembuk pekon (Lampung) menyama braya (Bali) saling jot saling pelarangan (ntb) siro yo ingsun ingsun yo siro (Jawa Timur) alon alon asal kelakon (Jateng/DIY) basusun sirih (Melayu Sumatera) para para pinang (Papua) pela gadong (Maluku) tembung rasa dan kata (Betawi) dan banyak pendekatan kearifan lokal daerah yang menunjukkan pengarusutamaan harmoni dalam mencegah konflik.
"Dalam upaya Indonesia Berbenah di sektor Mental, rancang bangun Apresiasi Keunggulan Budaya Lokal dapat dijadikan modal sosial berharga memperkuat Kebugaran Mental Manusia Indonesia membangun Revolusi Mental!" ujar Dody, yang juga dikenal sebagai pemegang 15 Rekor MURI tentang Gerakan Amal Pancasila ini.