Penggunaan e-Voting Pilkada Diminta Tak Langgar Asas Pemilu
"Pertama memberi tanda satu kali pada surat suara. Kedua, memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik," kata Titi.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 147/PUU-VII/2009 dan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014, yang membolehkan penggunaan e-voting dalam pilkada, terus menuai pro dan kontra di masyarakat. Terutama soal kesiapan KPU dalam menggunakan e-voting.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, dalam Pasal 85 ayat 1 Perppu No 1/2014 menyebutkan bahwa pemberian suara untuk pilkada dapat dilakukan dengan dua cara.
"Pertama memberi tanda satu kali pada surat suara. Kedua, memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik," kata Titi di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2014).
Titi mengatakan, ada keinginan yang kuat dari sejumlah pihak untuk menerapkan e-voting pada pilkada di Indonesia.
Hal itu bisa dilihat dengan dimulainya rangkaian diskusi dan pembahasan tentang kemungkinan penggunaan e-voting, baik untuk Pilkada, Pileg, maupun Pilpres.
Meski begitu, Titi mewanti-wanti jangan sampai penggunaan e-voting justru menerobos asas-asas dalam pemilu.
Penggunaan e-voting, kata dia, harus menjadi solusi penyelesaian masalah penyelenggaraan pemilu di Indonesia, bukan menambah rumit masalah yang ada.
"Penggunaan e-voting harus dipastikan tidak melanggar asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil," kata Titi.
Titi menjelaskan, satu di antara masalah dalam pemilu di Indonesia adalah terkait pemutakhiran dan pendaftaran pemilih. Karena itu, masalah itu harus diselesaikan terlebih dulu, sebelum menggunakan e-voting.
"Sebab e-voting sangat terkait erat dengan ketersediaan daftar pemilih yang valid dan akurat," ujarnya.
Lebih jauh Titi melihat, penggunaan e-voting juga tak bisa segera diterapkan. Melainkan dilakukan bertahap dan tidak harus di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, juga perlu disiapkan dengan baik mekanisme hukum untuk menjaga agar e-voting itu dapat dijalankan.
"Mekanisme hukum yang dimaksud adalah proses penegakkan hukum. Apakah jika terjadi tindak pidana, tindak pidana itu merupakan bagian dari cyber crime atau bagian dari tindak pidana pemilu," kata Titi.