PKS: Koalisi Indonesia Hebat Terkena Dua Sindrom
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai buyarnya kesepakatan damai menunjukkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengidap dua sindrom.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai buyarnya kesepakatan damai menunjukkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengidap dua sindrom. Hal itu terkait munculnya tuntutan baru untuk revisi aturan hak menyatakan pendapat di UU MD3.
Pertama sindrom kemarahan terhadap Presiden Joko Widodo dari unsur-unsur KIH yang kecewa terhadap formasi kabinet.
"Ada yang tidak terakomodir lalu ngambeknya ke DPR dengan buat DPR tandingan. Sehingga DPR tidak bisa bekerja efektif. Ini sebenarnya pesan ke Presiden Jokowi bahwa pemerintahannya enggak akan bisa bekerja jika DPR masih terbelah," kata Wasekjen PKS Mahfud Siddiq melalui pesan singkat, Jumat (14/11/2014).
Mahfud mengatakan urusan tersebut akan selesai bila Presiden Joko Widodo mengakomodir kepentingan pihak yang marah dan kecewa. Sindrom kedua adalah ketakutan. Yakni pihak dalam KIH yang ingin mengamankan kekuasaan Presiden Jokowi. Pasalnya, mereka mulai identifikasi kelemahan-kelemahan serius di dalamnya.
"Hak menyatakan pendapat DPR dipandang sebagai ancaman. Padahal hak tersebut dari dulu sudah ada. Jadi dua sindrom yang mewakili kepentingan dua kubu KIH inilah yang sebenarnya sumber masalah. DPR cuma kena imbasnya saja tapi KIH coba salahkan KMP," kata Ketua Komisi I DPR itu.
Mahfud menjelaskan KMP solid dalam memberi ruang akomodasi dengan 16 kursi pimpinan AKD dan revisi terbatas UU MD3 dan Tatib DPR. KMP, juga solid menolak usul revisi hak dan kewenangan DPR yang tak terkait dengan jumlah pimpinan AKD.
Mahfud menyarankan pimpinan partai-partai KIH segera selesaikan masalahnya.
"Karena jika tidak yang akan sangat dirugikan adalah pemerintahan Jokowi. Jika presiden Jokowi maksa kementerian dan programnya berjalan tanpa ada pembahasan RKAAL Kementerian baru tersebut, maka presiden berpotensi melanggar UU. Dan itu punya implikasi hukum dan juga politik," ujarnya.