Berhentikan Koruptor Secara Hormat, Mendagri Dikecam Masyarakat
Uchok menilai Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tidak mengindahkan dasar hukum dalam memberhentikan seorang pejabat yang korupsi
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Mendagri Tjahjo Kumolo memberhentikan terpidana korupsi mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin (RY) yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Bandung, secara hormat, menuai kecaman dari sejumlah pihak.
Kondisi ini dinilai sangat ironis dan menimbulkan kontroversi karena bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan Korupsi di Indonesia. Bahkan Mendagri dianggap telah membela koruptor.
"Pemberantasan korupsi dalam pemerintahan Jokowi-JK ini semakin buruk. Baru kali ini pemerintah memberhentikan secara hormat mantan pejabat yang telah terbukti korupsi. Ada apa dengan Mendagri yang memberhentikan Rahmat Yasin dengan hormat?" Kata Pengamat Politik Uchok Sky Khadafi di Jakarta, Kamis (18/12/2014).
Uchok menilai Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo tidak mengindahkan dasar hukum dalam memberhentikan seorang pejabat yang korupsi. Bahkan dia mencurigai ada praktik persekongkolan dalam proses penerbitan SK Mendagri Nomor 131.32.4652 tahun 2014 tanggal 25 November 2014 itu.
"Sebab jelas aturannya di dalam UU No 32/2004 maupun UU 23/2014 tentang Pemda maupun Perppu No1/2014 tentang Pilkada, yang intinya bahwa Kepala Daerah yang ditetapkan sebagai Terdakwa tindak pidana korupsi diberhentikan sementara dari Jabatan oleh Mendagri. Selanjutnya diberhentikan secara definitif jika terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht)," ujarnya.
Justru yang aneh dalam SK Mendagri Bupati Rachmat Yasin diberhentikan secara hormat. Hal itu dinilai menciderai keadilan masyarakat karena pemerintah masih membela koruptor.
sementara Penggiat Antikorupsi dari LBH-UIK Bogor, Achmad Hidayat menegaskan jika memang nyata-nyata SK Mendagri tersebut direkayasa dan bertentangan dengan hukum serta rasa keadilan masyarakat, ia akan menggugat Mendagri untuk membatalkan SK tersebut. Dia juga mendesak KPK untuk menelusuri surat yang dikeluarkan mendagri tersebut
"Ini sangat memukul masyarakat Bogor di tengah maraknya pemberantasan korupsi dan ketegasan terhadap koruptor justru Kemendagri mengeluarkan keputusan pemberhentian dengan hormat terhadap koruptor," ujarnya.
Menurutnya, dalam pasal 29 UU No 12 tahun 2008, Kepala Daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri dan diberhentikan. Untuk poin diberhentikan karena status terdakwa dan pengunduran RY tanggal 20 september 2014 harusnya tidak berlaku karena tanggal 16 September 2014 sang mantan Bupati sudah terdakwa.
Secara psikologis, kata dia, berbeda dan jika diberhentikan secara hormat RY akan tetap mendapatkan fasilitas seperti dana pensiun dan lain-lain. Ahmad Hidayat menilai adanya intervensi yang begitu kuat kepada Kemendagri dalam mengambil keputusan dan mengeluarkan SK terkait Bupati yang tersangkut korupsi ini.
"Ini sangat berbeda perlakuannya terhadap gubernur Banten dan gubernur Riau. Apakah kekuatan politik ataukah kekuatan materi yang mengendalikannya. Ini sungguh mencoreng citra Jokowi karena blunder keputusan terkait koruptor," imbuhnya.