BPOM: Dari 202 Kasus di Pengadilan, Baru 14 Perkara yang Diputus
Dari 202 kasus yang ditindaklanjuti dengan pro justitia, 14 perkara sudah mendapat putusan pengadilan
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparingga mengatakan, sebanyak 583 kasus pelanggaran terkait bahan makanan dan obat-obatan ilegal, 202 diantaranya kasus ditindaklanjuti dengan pro justitia atau lewat pengadilan.
"Dari 202 kasus yang ditindaklanjuti dengan pro justitia, 14 perkara sudah mendapat putusan pengadilan," ujar Roy saat jumpa pers di kantor BPOM, Jalan Percetakan Negara, Salemba, Jakarta Pusat, Senin (12/1/2015).
Sementara, Roy menjelaskan sebanyak 381 kasus lainnya ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi administratif.
Roy mengatakan, sanksi Pidana tidak membuat efek jera para pengedar obat maupun makanan ilegal atau tanpa izin edar dan mengandung bahan berbahaya.
"Banyak putusan pengadilan yang tidak beri efek jera," tutur Roy
Roy menjelaskan, banyak realisasi dari Pasal Pidana Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang kenyataannya dalam putusan pengadilan jauh lebih ringan ketimbang yang diatur oleh Undang-Undang.
Ancaman Pidana bagi pengedar obat tidak izin edar ataupun mengandung bahan bebahaya sesuai Undang-Undang tentang Kesehatan yakni Pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.
"Putusan pengadilan tertinggi hanya memvonis penjara 8 bulan dengan percobaan 10 bulan dan denda 600 ribu kurungan 1 bulan bagi Terdakwa yang terbukti mengedarkan obat tanpa kewenangan dan keahlian," kata Roy.
Sama halnya bagi mengedar obat tradisional tanpa izin edar, pada kenyataannya hanya dikenakan pidana penjara selama 4 bulan 15 hari dan denda 50 juta subsider 1 bulan. Begitu pula terhadap kasus kosmetik yang diedarkan tanpa izin edar, hanya dipidana penjara selama 2,5 tahun.
Kemudian, untuk masalah pangan ilegal, sesuai dengan ketentuan Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dikenakan Pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
"pada putusan pengadilan tertinggi hanya pidana penjara 10 bulan dengan masa percobaan 1 tahun dan denda 2 juta subsider 2 bulan," ujar Roy.