Penerapan Eksekusi Hukuman Mati Bisa Berakibat Balas Dendam dari Negara Luar
Todung Mulya Lubis mengatakan, eksekusi mati akan menyulitkan Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan negara lain.
Penulis: Randa Rinaldi
Editor: Gusti Sawabi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Randa Rinaldi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Penerapan hukuman mati di Indonesia terus mendapat pertentangan dari kalangan pegiat hak asasi manusia. Ketua Umum Yayasan Yap Thiam Hien, Todung Mulya Lubis mengatakan, eksekusi mati akan menyulitkan Indonesia untuk melakukan negosiasi dengan negara lain.
"Dalam tingkat international dikenal asas resiprositas. Kalau kita melakukan tindakan tertentu yang menyangkut warga negara lain mereka bukan tak mungkin melakukan tindakan serupa. Ini asas timbal balik dan ini yang harus kita jaga dan jangan sampai ini terjadi,"kata Todung di Gedung Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, Kamis (22/1/2015) malam.
Todung menyatakan, perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia (TKI) akan sulit diberikan jika eksekusi mati terus diterapkan. Ia merasa kecewa dengan kebijakan tersebut dan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut.
Selain itu, Ia beralasan eksekusi mati untuk terpidana narkoba tidak tepat digunakan karena tindak kejahatan tersebut tidak dilakukan secara individual. Penerapan hukuman mati bagi terpidana narkoba ditentang bukan dimaksud untuk membela kepentingan segelintir pihak.
Namun, penerapan eksekusi mati ditentang karena tidak sesuai dengan prinsip negara Indonesia sebagai negara bermartabat. Bahkan, eksekusi mati akan menyebabkan hubungan sosial dan bisnis yang telah terjalin dengan negara luar bisa berjalan tidak harmonis lagi.
"Eh di negara anda (Indonesia) hukuman mati diberlakukan, kenapa anda membela hukuman mati yang kita jatuhkan (negara lain). Ini yang kita sebut standar ganda,"kata Todung.
Sebelumnya, Kejagung telah menembak mati enam narapidana narkotika, Minggu 18 Januari 2015 lalu. Eksekusi tahap pertama ini terdiri satu napi warga negara Indonesia dan lima napi dari warga negara asing.