Ini Tiga Potensi Pelanggaran Presiden Jokowi Jika Batal Melantik BG
Dalam politik kenegaraan, loyalitas pada negara kerap kali segaris lurus dengan partai politik.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berkaitan dengan dinamika politik yang berkembang saat ini, ada tiga potensi pelanggaran apabila Presiden Jokowi tidak melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri.
"Pertama, pelanggaran konstitusi, yang mana proses pengajuan dan penetapan nama telah dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hal ini mengarah pada tindakan melawan hukum apabila tidak dilakukan," ujar Muradi, Pengajar Politik dan Pemerintahan Fisip Universitas Padjadjaran, Senin (16/2/2015).
Menurutnya, apalagi dalam konteks yang lebih personal, presiden akan dianggap melanggar hak individu dalam kaitannya kesamaan di mata hukum dan pembuktian peradilan sebelum diputus bersalah.
Pelanggaran konstitusi ini diwacanakan oleh PDI Perjuangan dan KIH, dan belakangan kemudian juga ditegaskan oleh Bambang Soesatyo dengan menyatakan bahwa ada potensi pelecehan parlemen atas pembatalan tersebut, yang mana mengarah pada pelanggaran konstitusi.
"Kedua, potensi pelanggaran loyalitas atas partai dan negara. Presiden dihadapkan pada situasi di mana tengah diuji loyalitasnya pada negara dan partai pendukungnya," lanjut Muradi.
Dalam politik kenegaraan, loyalitas pada negara kerap kali segaris lurus dengan partai politik, karena biasanya warna ideologi dan arah gerak pemerintahan seirama dengan partai politik dimana presiden tersebut bernaung.
Artinya setiap kebijakan yang dibuat akan nampak karakternya berdekatan dengan ideologi partai politik pengusung. Nawacita dan Trisakti adalah bagian dari itu.
"Namun pada kenyataannya presiden dihadap-hadapkan pada kenyataan bahwa kepentingan negara tidak segaris lurus dengan ideologi partai. Dilema ini tentu harus diakhiri oleh presiden dengan kemudian mengupayakan integrasi kepentingan yang selaras antara keduanya. Jika presiden salah memilih maka potensi pelanggaran loyalitas akan menghadang presiden," papar Muradi.
Dan yang ketiga, potensi pelanggaran etika politik. Hal ini bertumpu pada komunikasi politik yang seharusnya berhasrat pada pencapaian sejumlah program yang bisa menjadi jembatan antara kebijakan presiden dengan harapan dari partai politik pengusung.
"Apabila tidak terjadi titik temu, maka potensi pelanggaran etika politik tersebut cenderung membesar," pungkas Muradi.