Aburizal Pertanyakan Kewenangan Mahkamah Partai Adili Konflik Golkar
"Karena sudah tidak independen dan hakim tidak lengkap serta mempersilakan kami membawa masalah ini ke pengadilan," sambung Theo.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Golkar kubu Aburizal Bakrie mempertanyakan kewenangan Mahkamah Partai Golkar menyelesaikan perselisihan kepemimpinan partai. Sebab, Mahkamah pernah menolak permohonan yang diajukan kubu Aburizal.
"Mahkamah Partai tidak berhak mengadili perkara a quo, pemohon yang diajukan ke mahkamah dengan tegas disebutkan permohonan yang diajukan perselisihan DPP Partai Golkar periode 2014-2019," ujar Wakil Ketua Umum Golkar versi Munas Bali Theo L Sambuaga dalam sidang Mahkamah Partai di Gedung DPP Golkar, Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Theo mengungkapkan dualisme kepemimpinan telah disampaikan ke Mahkamah pada 23 Desember 2014 untuk diselesaikan. Kemudian pada 6 Januari 2015, Mahkamah mengirimkan jawaban tidak dapat menyelesaikan kasus tersebut.
"Karena sudah tidak independen dan hakim tidak lengkap serta mempersilakan kami membawa masalah ini ke pengadilan," sambung Theo.
Theo mengungkapkan hakim Mahkamah telah terbelah. Ia mencontohkan Andi Matalatta yang telah masuk struktur kepengurusan hasil Munas Ancol. Kemudian Aulia Rahman tidak dapat bertugas karena menjabat Duta Besar Indonesia untuk Ceko.
"Djasri Marin tidak mau melaksanakan tugasnya karena sudah diberhentikan oleh DPP Partai Golkar," ujarnya.
Ia mengungkapkan pasal 31 ayat 1 UU Partai Politik menyebutkan perselisihan di internal partai politik diatur dalam AD/ ART partai. Sedangkan pasal 31 ayat 2 UU Parpol, perselisihan diselesaikan melalui mahkamah atau nama lain yang dibentuk parpol. Lalu ayat 3 disebutkan mahkamah dibentuk parpol yang berkewajiban mengadili paling lama 60 hari. Keputusannya bersifat final mengikat.
Tetapi, kata Theo, pasal 33 ayat 1 UU Parpol menyebutkan penyelesaian perselisihan internal sesuai pasal 32 diputuskan melalui Pengadilan Negeri adalah pertama dan terakhir. Karena itu, berdasarkan surat MP tanggal 6 Januari 2015 yang menegaskan mahkamah tidak dapat bersidang maka satu-satunya jalan adalah diadukan ke pengadilan negeri sesuai Pasal 33 ayat 1 UU Parpol. Theo melihat inkonsistensi MP menimbulkan banyak pertanyaan karena seharusnya Mahkamah tidak berwenang mengadili perkara a quo.
"Ketidakmampuan Mahkamah Partai menyidangkan permohonan termohon dahulu, sesuai pasal 33 ayat 1 UU Parpol yang menyatakan penyelesaian perselisihan apabila tidak di mahkamah partai tidak tercapai maka diselesaikan ke pengadilan negeri," terangnya.