Pegawai ASN Harus Mundur Sebelum Mencalonkan Diri sebagai Bupati
Pada kesempatan ini, pihak Pemerintah diwakili Wicipto Setiadi selaku Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi melanjutkan sidang pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan agenda mendengarkan keterangan pihak Pemerintah dan DPR, Jumat (27/2/2015).
Pada kesempatan ini, pihak Pemerintah diwakili Wicipto Setiadi selaku Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham.
Pemerintah menanggapi pengujian Pasal 124 ayat (2) UU ASN yang menyebut bahwa sebagai PNS yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau pejabat negara harus mengundurkan diri secara permanen.
Menurut Pemerintah, sebelum diterbitkannya UU ASN yang baru, pengaturan mengenai kepegawaian diatur dalam UU No. 44/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
"Dalam UU Kepegawaian, norma larangan bagi pegawai sudah diatur dalam ketentuan Pasal 6. Sehingga terhadap anggapan Pemohon yang mendalilkan ketentuan a quo merugikan Pemohon karena diberlakukan surut terhadapnya, menurut Pemerintah keliru dan berlebihan," kata Wicipto. Sidang sendiri dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Dilanjutkan Wicipto, adanya UU ASN sebagai pengganti UU Kepegawaian justru lebih mempertegas norma larangan tersebut. Sementara terhadap norma larangan bagi pegawai itu, pemerintah berpendapat, hal ini diatur guna menjaga netralitas pegawai ASN dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN.
"Selain itu dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan bagi pegawai ASN dalam melaksanakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," kata Wicipto.
Terhadap Pemohon yang harus mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri menjadi pejabat negara, menurut Pemerintah, perlu diketahui bahwa jabatan negara seperti adalah jabatan politis. Sama halnya jabatan untuk menjadi anggota partai politik yang dipilih masyarakat yang mendukung partainya.
"Oleh karena itu, bagi pegawai ASN harus menjaga kenetralitasannya dari pengaruh politik sehingga pegawai ASN harus mengundurkan diri sebelum mengajukan sebagai calon bupati," kata Wicipto.
Sementara DPR yang diwakili oleh Arsul Sani selaku anggota Komisi III DPR mengatakan ketentuan mengenai pejabat negara yang dipilih langsung dengan yg tidak dipilih langsung bukan merupakan diskriminasi.
"Pegawai ASN diharapkan bebas dari kepentingan dan intervensi politik. Itu semua demi tercapainya aparat negara yg profesional, bebas dari intervensi politik, bebas dari kkn serta memiliki kinerja, kapasitas dan integritas yg tinggi," kata Arsul.
Arsul menjelaskan, Pasal 8 UU ASN menyebutkan bahwa pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara. Sedangkan Pasal 9 ayat (2) UU ASN menyebutkan bahwa pegawai ASN harus bebas dari intervensi dan pengaruh parpol.
"Ketentuan itu jelas bahwa pegawai ASN tidak boleh ikut kegiatan politik praktis dan dilarang berpihak dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan," kata Arsul.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Rochmadi Sularsono yang melakukan uji materi UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Alasan permohonan, Pasal 137 UU ASN menciptakan akumulasi pelanggaran peraturan perundang-undangan baik UU No. 5/2014 maupun UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 yang mengatur penggajian serta hak hukum PNS yang bekerja pada instansi daerah.
Karena itu, dia menilai, tidak terdapat kemungkinan bagi PNS yang nakal tapi cerdas dapat dianggap melanggar sumpah/janjinya walau beratasnamakan kepastian hukum dan banyak saksi yang mendengarnya.
Selain itu menurut Pemohon, Pasal 6 UU ASN tertera pengklasifikasian pegawai ASN. Tanpa penyebutan PPPK dalam sumpah/janji PNS, meniadakan kemungkinan Pemohon yang berstatus PNS memenuhi sumpah dan janjinya selaku PNS. Pemohon juga berdalih, tidak dicantumkannya tenaga honorer sebagai jenis pegawai ASN pada Pasal 6 UU ASN, membuat semua tenaga honorer kehilangan perlindungan kepastian hukum.