Pentingnya Pengendalian Penyakit Infeksi di Indonesia dalam Menghadapi Zona Bebas ASEAN
Acara ini dilakukan RSPI Sulianti Suroso sebagai RS Khusus Penyakit Infeksi dalam rangka dalam rangka HUT ke-21 RS tersebut.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Suroso, Dr dr Fatmawati, MPH, mengungkapkan keprihatinannya atas kurangnya perhatian terhadap perkembangan penyakit infeksi di Indonesia. Menurutnya, penyakit infeksi masih kurang mendapat perhatian bila dibandingkan dengan penyakit kronis. Hal tersebut terjadi karena Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait penyakit infeksi jarang sekali terjadi.
Dampak yang kemudian terjadi adalah kurangnya perhatian dan kewaspadaan terhadap penyakit infeksi oleh para pelaksana kesehatan dan masyarakat. Padahal, penyakit infeksi dapat menjadi ancaman kesehatan yang serius di masa mendatang. Apalagi emerging dan re-emerging infectious disease menunjukkan peningkatan gejala dan kemungkinan ancaman dalam waktu mendatang sehingga harus diantisipasi.
“Dampaknya adalah kurangnya perhatian dan kewaspadaan dini terhadap penyakit infeksi oleh para pelaksana kesehatan dan masyarakat," ujar Fatmawati dalam seminar bertema “Kesiapan Pengendalian Penyakit Infeksi di Indonesia Menghadapi Zona Bebas Asia Tenggara” di Hotel Intercontinental Midplaza, Jakarta, Rabu (6/5). Acara ini dilakukan RSPI Sulianti Suroso sebagai RS Khusus Penyakit Infeksi dalam rangka dalam rangka HUT ke-21 RS tersebut.
Seminar yang dihadiri narasumber yang kompeten dari dalam maupun luar negeri seperti Thailand, Singapura dan Jepang ini diharapkan dapat mengingatkan kembali tentang pentingnya kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan terhadap penyakit infeksi.
Beberapa topik akan dibahas para narasumber pada seminar tersebut. Di antaranya Infectius Disease Referral System in Indonesia oleh Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes, Prof. Akmal Taher, MD, Ph.D; The Role of Research in Controling Infectius Disease oleh Kepala Badan Litbangkes Kemkes Prof. Tjandra Yoga Aditama; Zero Transmission of HIV from Mother to Child in Thailand oleh Bhamrasnaradura Infectius Disease Institute (BIDI) Thailand; Rabies, Ebola, MERS-CoV, H5N1 dan lain-lain.
Banyak faktor yang berhubungan dengan penyakit infeksi, antara lain faktor kepadatan pendudukan, perjalanan (travel) penyakit, perubahan iklim, pergerakan ternak, tanaman dan barang, dan perkembangan virus infeksi itu sendiri.
“Mobilitas manusia sangat cepat. Pagi di Jakarta, bisa jadi malam sudah di Amerika atau sebaliknya. Hal seperti ini harus kita antisipasi. Perjalanan lintas benua termasuk di dalamnya perdagangan dan pariwisata berpotensi menularkan penyakit infeksi. Bahkan, penyebaran penyakit infeksi melalui proses traveling lebih cepat dari pada masa inkubasinya,” tegas Fatmawati.
Lebih jauh Fatmawati juga mengungkapkan, faktor penyebaran emerging dan re-emerging infectious disease yang sudah teridentifikasi di antaranya melalui perubahan ekosistem, cuaca, perilaku masyarakat, dan travel atau pergerakan penyakit infeksi baru dari satu benua ke benua lain mengikuti pergerakan manusia, barang, atau ternak.
Faktor lain yang diidentifikasi yaitu mutasi virus disertai perubahan sifat dan resistensi. Misalnya, virus influenza tidak hanya bermutasi tapi juga mengalami rearrangement bentuk jenis baru. Untuk itu, emerged dan reemerged infectious disease perlu penanganan dari multidisiplin ilmu dan riset.
Selain rumah sakit, penelitian dan perkembangan teknologi serta terapi pengobatan penyakit infeksi juga amat menentukan keberhasilan Indonesia dalam menangani penyakit infeksi. Tentu saja hal tersebut perlu ditunjang perilaku masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, seperti membiasakan mencuci tangan sebelum makan.
Informasi kesehatan dan berita lainnya dapat disimak di laman www.depkes.go.id dan www.sehatnegeriku.com. (advertorial)