Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pilkada Serentak dan Ancaman Kebencian

Jumlah daerah pada tahap pertama mencapai 53 persen dari 537 provinsi dan kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Pilkada Serentak dan Ancaman Kebencian
net
ilustrasi 

Oleh: Alamsyah M Dja’far

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di pengujung tahun ini, 269 daerah di Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah serentak tahap pertama: 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Sisanya digelar Februari 2016 untuk tahap kedua dan Juni 2018 untuk tahap ketiga.

Jumlah daerah pada tahap pertama mencapai 53 persen dari 537 provinsi dan kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.

Hajatan politik "borongan" ini merupakan pengalaman baru bagi Indonesia, bahkan dunia. Begitulah kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik beberapa bulan lalu. Jadi, kita memang masih meraba-raba bagaimana praktiknya nanti. Apalagi, capaian dan tantangan pilkada serentak ini belum pernah ada presedennya.

Waspadai isu SARA

Melihat kasus Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, dalam pilkada serentak perlu diwaspadai ujaran kebencian (hate speech) berbasis agama. Inilah tantangan cukup serius yang perlu segera dikelola agar tidak menodai pesta demokrasi lokal.

Bagi sebagian kalangan, ujaran kebencian masih dianggap cara efektif mendulang dukungan politik sekaligus menurunkan pesona lawan. Dalam dua kasus di atas, Joko Widodo—kini Presiden RI—sangat merasakan dampak yang ditimbulkannya, baik secara politis maupun sosial. Ibunya dituduh Kristen, dirinya dihujat antek komunis dan Yahudi, keturunan Tionghoa, dan bahkan tak bisa berwudu.

BERITA REKOMENDASI

Kita tahu, praktik kotor dalam Pilkada DKI dan Pilpres tak membuat Jokowi kalah. Namun, daya rusaknya betul-betul nyata. Ujaran kebencian berhasil menurunkan elektabilitas Jokowi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat pada pilpres lalu.

Dalam masyarakat, seseorang memang dengan mudah membelah identitas seseorang: Muslim-Kristen; pribumi-Tionghoa; antek Zionis-bukan; dan seterusnya, khususnya dalam percakapan di media sosial. Hingga puluhan tahun ke depan, residunya masih akan susah dibersihkan.

Ancaman meroketnya kekerasan dan konflik sosial dalam pilkada serentak tampaknya tak akan terjadi. Secara umum masyarakat makin dewasa mengikuti pilkada. Namun, untuk memuaskan berahi politik, sebagian kecil lagi memang masih akan menggunakan cara apa pun, termasuk kekerasan. Laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, misalnya, ”hanya” menemukan 5 persen kasus kekerasan terjadi terkait pilkada sebanyak 500 kali sepanjang 2005-2008. Pada 2010, International Crisis Group mencatat pada 220 pilkada terjadi 20 kasus kekerasan.

Akan tetapi, ancaman serius berikut yang penting direspons adalah meningkatnya kekerasan nonfisik. Salah satunya dalam bentuk ujaran kebencian menjelang dan saat pilkada.

Banyak riset menunjukkan, hubungan kekerasan dan pilkada tak selalu seperti kompor dan api. Bahan baku konflik sudah hadir sebelum pilkada, bahkan jauh sebelumnya. Misalnya isu Kristenisasi, aliran sesat, stigma kafir, ateis, atau komunis. Maka, momen politik seperti pilkada sering kali menjadi arena berbagai aktor (politisi, birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat) mengangkat sentimen intoleransi keagamaan yang sudah ada itu untuk mobilisasi elektoral. Jadi, untuk mengatasi konflik, kita harus bergerak menuju sumber masalah, tak hanya terpaku pada momen pilkada.


Konflik keagamaan

Pandangan ini salah satunya diperkuat oleh hasil riset Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada bertajuk "Politik Lokal dan Konflik Keagamaan". Hasil riset yang dirilis Februari 2015 ini berusaha melihat konflik keagamaan dan relasinya dengan pilkada di tiga wilayah: Sampang, Bekasi, dan Kupang.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas