Komisi Yudisial Sarankan Undang-Undang KPK Direvisi Hindari Multitafsir
"Perlu campur tangan legislasi, pemerintah dan DPR untuk melakukan harmonisasi peraturan perundangan-undangan, agar jadi acuan yang jelas."
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Yudisial mengusulkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menghindari multitafsir atas putusan gugatan praperadilan penetapan tersangka yang berbeda-beda.
"Perlu campur tangan legislasi, pemerintah dan DPR untuk melakukan harmonisasi peraturan perundangan-undangan, agar jadi acuan yang jelas dan tidak multitafsir," ujar komisioner KY, Taufiqurachman Syahuri, Jakarta, Rabu (27/5/2015).
Menurut Taufik, selain UU KPK, penyidik KPK juga menggunakan KUHAP dan UU Tindak Pidana Korupsi sebagai acuan. Untuk itulah, perlu ada sinkronisasi agar tidak diutak atik lagi dalam sidang praperadilan.
"Ada kaidah lex specialis derogat legi generali, hukum yang khusus dimenangkan dari hukum umum," kata dia.
Sebelumnya, hakim tunggal Haswandi memutuskan penetapan tersangka mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo tersebut tidak sah lantaran penyelidik dan penyidik KPK tidak sah atau bertentangan dengan undang-undang.
Haswandi berpendapat seharusnya penyidik KPK berstatus penyidik sebelum diangkat atau diberhentikan oleh KPK, baik dari Polri atau Kejaksaan atau institusi lainnya.
Pada Pasal 39 ayat 3 undang-undang tersebut mengatur, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada KPK, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada KPK.
Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim Haswandi menilai Pasal 43 UU KPK yang mengatur tentang pengangkatan penyelidik independen adalah bertentangan dengan undang-undang yang ada.