GP Ansor Siap Amankan Keputusan Munas Terkait Metode Ahlul Halli Wal Aqdi
"Apa tidak diperbolehkan para syuriysh kumpul dan membahas masalah syuriyah tersendiri?," ungkap Nusron.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Nusron Wahid menegaskan pihaknya siap mengamankan keputusan Munas Alim Ulama NU yang menyepakati mekanisme pemilihan Rais 'Aam Syuriyah dengan metode ahlul halli wal aqdi (ahwa) atau musyawarah mufakat para kiai senior dalam Muktamar NU nanti.
Nusron mengatakan, metode tersebut sudah diputuskan dalam Munas Alim Ulama yang merupakan forum tertinggi setelah muktamar, serta dihadiri oleh 27 dari 34 pengurus wilayah NU ditambah anggota pleno PBNU yang terdiri dari pengurus harian Syuriyah, Tanfidziyah, A’wan, dan Mustasyar, serta Ketua Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom. Karena itu, tidak ada alasan bagi siapapun yang mengatasnamakan NU untuk menolaknya.
"Kalau ada yang tidak setuju, kenapa tidak hadir dan berargumentasi di depan para kyai? Di depan para syuriyah yang lain? terutama di depan para kyai sepuh?," kata Nusron Wahid, dalam keterangannya, Kamis (18/6/2015).
Nusron mengingatkan kembali bahwa pemimpin tertinggi di NU itu memang adalah Syuriyah. Sementara Tanfidziyah hanyalah pelaksana organisasi. Untuk itu, dia mempertanyakan jika justru posisi Syuriyah hanya dikerdilkan soal keagamaan.
"Syuriyah itu pemimpin tertinggi di NU, yang punya bawahan namanya tanfidziyah. Jangan malah sebaliknya syuriyah diatur tanfidziyah," ujarnya.
Dengan posisinya sebagai pemimpin tertinggi di NU, lanjut dia, maka tidak sepatutnya juga ketika Munas yang mereka gelar dipertanyakan hanya karena tanpa adanya Konbes.
"Apa tidak diperbolehkan para syuriysh kumpul dan membahas masalah syuriyah tersendiri?," ungkapnya.
Nusron merasa perlu menegaskan itu karena seharusnya kalau sudah keputusan para kyai dalam munas bahwa mekanisme pemilihan Rais 'Aam Syuriyah dengan metode Ahwa maka semuanya wajib mendengar dan mentaati atau sami'na wa atho'na
"Toh dengan metode Ahwa tidak ada yang dilanggar. Dalm AD/ART memang diputuskan bahwa pemilihan Rais 'Aam itu dengan musyawarah mufakat dan atau pemilihan. Kalau kyai-kyai sudah memutuskan untuk jalan mufakat melalui mekanisme Ahwa ya harus kita amankan," tukasnya.
Atas adanya pihak yang masih memprotes, Nusron justru balik mempertanyakan apa sebenarnya yang dipersoalkan.
"Lagi pula yang membedakan apa? Wong biasanya Syuriyah memilih satu nama, sekarang merekomendasikan 9 nama untuk jadi Ahwa. Dan 9 nama itu juga dengan syarat-syarat yang ditentukan para kyai," tegasnya.
Terkait dengan siapa kyai layak sebagai Ahwa, lanjut Nusron, GP Ansor mengusulkan beberapa nama yakni; 1. KH Muchit Muzadi (Kakak KH Hasyim Muzadi) dari Jember, 2. KH Tolhah Hasan dari Malang, 3. KH Nawawi Abdul Djalil dari Pasuruan 4. KH. Anwar Mansur, Lirboyo Kediri, 5. KH. Nurul Huda Djazuli, Ploso Kediri, 6. KH. Maemun Zubair, Sarang, Rembang, 7. KH. Sya'roni Ahmadi, Kudus, 8. KH Dimyati Rois, Kendal, 9. Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan 10. KH. Sanusi Baco, Makasar 11. KH. Ma'ruf Amin, Jakarta, 12. Muhtadi Dimyati, Banten, 13. KH. Ahmad Shodiq, Lampung Timur, 14. KH Mahtum Hanan, Babakan Ciwaringin Citebon, 15. KH. Nuh Addawwami, Garut, 16. Tuan Guru Turmudzi Badrudin, Lombok, 17. KH Kholilurrahman, Martapura, 18. KH. Mudarris, Sumsel, 19. KH Mahmudin Pasaribu, Musthofawiyah Sumut, dan 20. KH Bagindo Letter, Sumbar.
"Beliau-beliau merupakan kyai-kyai sepuh yang tidak lagi diraguksn komitmen dan garis lurusnya dalam mengrawat umat NU selama ini," ujarnya.
Sikap tegas GP Ansor tersebut merespons adanya pihak yang dinilainya berupaya mementahkan apa yang telah diputuskan Munas Alim Ulama NU terkait dengan mekanisme pemilihan Rais 'Aam pada Muktamar ke-33 nanti.
Salah satunya adalah seperti yang disampaikan oleh Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Nusa Tenggara Timur, Abd Kadir Makarim. Menurut dia, Munas itu sedikit aneh alias tak lazim dan berdekatan dengan waktu Muktamar. Padahal sudah dilaksanakan Munas dan Konferensi Besar (Konbes) pada 1-2 November 2014, meski tanpa menghasilkan keputusan. Dia juga berdalih bahwa Munas adalah forum yang terdiri dari para syuriah pengurus wilayah (setingkat provinsi) dengan materi permasalahan keagamaan. Sedangkan Konbes diikuti para pengurus tanfidziyah untuk membahas persoalan organisasi dan kelembagaan.
“Yang terjadi pada Munas yang dipaksakan itu adalah Munas tanpa Konbes dengan materi tunggal membahas sistem pemilihan Rais Aam melalui ahwa. Barangkali ini baru pertama kali dilakukan Munas oleh PB NU tanpa adanya Konbes,” kata Makarim melalui keterangan tertulis pada Rabu (17/6/2015).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.