Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Muhammadiyah di Abad Kedua

Sangat meyakinkan HW secara ideologis sangatlah patriotik dan nasionalistik.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Muhammadiyah di Abad Kedua
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Hajriyanto Y Thohari 

"Noblesse oblige"

Kini kader-kader Muhammadiyah harus tampil ke depan dengan gigih dan ambisi yang besar. Kader Muhammadiyah harus tetap berpikir dalam wawasan kebangsaan dan terus mengintegrasikan diri dalam arus kebangsaan secara paripurna.

Jangan melayani wacana yang menghabiskan energi untuk meratapi kontestasi dan konflik ideologi prolog dan epilog formasi ideologi nasional tahun 1940-an sampai 1950-an. Kader Muhammadiyah harus bekerja keras untuk menjamin tegak dan utuhnya republik ini dan memantapkan dasar-dasar konstitusional Republik Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.

Harus disadari bahwa utuhnya Indonesia bukanlah sesuatu yang taken for granted,melainkan harus terus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan terencana secara sistematis. Betapa benarnya hal itu, terlebih lagi jika kita melihat fakta tambahan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan mungkin yang paling majemuk di dunia. Pluralisme yang multidimensional, tersegmentasi, dan terfragmentasi ini telah membentuk mosaik keindonesiaan yang sangat indah dan memesona, tetapi sekaligus rawan akan skisma manakala tidak dikelola dengan hati-hati.

Pemahaman bahwa Indonesia ini majemuk atau pluralis perlu dimajukan lagi. Jika sebelumnya pluralisme hanyalah kesadaran bahwa kita terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda, kini harus diberi pemahaman baru, yaitu menjadikan pluralisme sebagai prosedur hidup bersama secara nyaman.

Dengan menjadikan pluralisme sebagai pandangan hidup seperti ini, diperlukan strategi kebudayaan yang jitu. Sebagaimana kata sebuah adagium, noblesse oblige (dalam kedudukan yang tinggi ada tanggung jawab), demikianlah Muhammadiyah: tidak boleh lari dari tanggung jawab dalam proyek panjang mewujudkan Indonesia yang berkemajuan.

Dalam konteks dan perspektif ini, Muhammadiyah tidak boleh menghabiskan energi untuk melayani polemik-polemik sektarian warisan lama pasca Perang Shiffin (657 M) dengan Tahkim-nya itu. Alih-alih Muhammadiyah harus tampil ke depan sebagai perekat persaudaraan kebangsaan dan peredam konflik primordial dan sektarian dengan amal-amal nyata (da'wah bi lisani 'l-hal).

Berita Rekomendasi

Dalam hal ini pun Muhammadiyah harus tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan nyata dengan karakter lama, ”sedikit bicara banyak kerja”, yang menjadi semboyan kepanduan HW itu. Semoga!

Hajriyanto Y Thohari
Wakil Ketua MPR 2009-2014

Versi harian Kompas edisi 3 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Muhammadiyah di Abad Kedua".

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas