Perludem Nilai KPU Tak Bersikap Adil Soal Calon Tunggal
KPU memutuskan menunda penyelenggaraan Pemilukada di tujuh daerah itu
Penulis: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai tidak adil keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda Pemilukada di tujuh daerah dengan pasangan calon kurang dari dua atau calon tunggal.
KPU memutuskan menunda penyelenggaraan Pemilukada di tujuh daerah itu.
"Prinsipnya adalah calon dan parpol yang sudah siap mendaftar untuk berkompetisi secara adil dan terbuka dalam pilkada sesuai prosedur yang sudah disediakan, tidak boleh dihukum dan menanggung akibat dari ketidaksiapan calon dan parpol lain untuk berkompetisi dan merebut kekuasaan dalam pilkada," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Tribun, Selasa (4/8/2015).
Karenanya harus ada solusi atas calon tunggal ini. Menunda pilkada di daerah dengan calon tunggal juga tidak menyelesaikan masalah. Sebab jika ditunda ke tahun 2017 sekalipun, tetap saja ada peluang kembali terjadi calon tunggal ketika pendaftaran calon dibuka di tahun 2017.
Jadi akar masalah soal calon tunggal ini tetap belum terselesaikan dan tetap terjadi terjadi situasi kekosongan hukum.
Pembuat Undang-undang harus menjawab persoalan calon tunggal ini dengan memberikan mekanisme hukum yang setidaknya bisa melindungi hak politik calon untuk dipilih dalam pilkada yang jurdil dan demokratis dan.
Pilihannya bisa dengan melakukan revisi terbatas atas UU Pilkada atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) patut dipertimbangkan jika revisi terbatas atas UU Pilkada dianggap makan waktu lama.
Pada masa penyusunan revisi UU Pilkada tahun 2012 lalu, Perludem pernah mengusulkan apabila dalam masa perpanjangan waktu pendaftaran tetap hanya ada calon tunggal, maka pilkada tetap digelar saja dengan pilihan tanding kolom atau bumbung kosong sebagai lawan, seperti halnya dalam pemilihan kepala desa.
Dengan demikian pasangan calon tunggal tetap harus membuktikan dirinya, apakah mayoritas rakyat memilihnya atau tidak.
"Dengan cara itu proses pilkada tidak tersendat akibat penguluran waktu pendaftaran pasangan calon, proses demokrasi tidak dimanipulasi oleh adanya calon “boneka”, dan legitimasi calon tunggal terbuktikan melalui pemilihan,"ujar Titi.
Karena dia melihat ada beberapa hal yang bisa dielaborasi terkait faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya calon tunggal ini. Naiknya syarat dukungan calon yang diusung parpol--memiliki sekurang-kurangnya 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu terakhir, diyakini membuat koalisi parpol untuk mengusung calon menjadi lebih alot dan rumit untuk terbentuk.
Sebelumnya, syarat dukungan ini “hanya” 15 persen kursi DPRD atau 15 persen suara sah hasil pemilu terakhir.
Ditambah lagi, calon perseorangan kesulitan menjadi kompetitor karena beratnya syarat dukungan serta keterbatasan waktu untuk mengumpulkan dukungan.
Karena syarat dukungan calon perseorangan dalam UU Pilkada yang baru naik 100 persen lebih dibandingkan syarat dalam UU lama. Dulu hanya diperlukan 3-6,5 persen dukungan dari total jumlah penduduk untuk maju sebagai calon perseorangan.