Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tangisan Gus Mus yang Menyadarkan

Suara Gus Mus teduh tetapi tertahan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Tangisan Gus Mus yang Menyadarkan
TRIBUN/AHMAD ZAIMUL HAQ
Pejabat Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri atau Gus Mus saat berbicara hadapan peserta Muktamar Ke-33 NU di alun-alun Jombang, Senin (3/8). Gus Mus menyampaikan hasil kesepakatan para kiai sepuh dan rais syuriyah apabila ada pasal yang tidak disepakati muktamarin akan diselesaikan dengan pemungutan suara. Pasal yang memuat tentang ahlul halli wal aqdi (AHWA) dihapus. Karena menyangkut pemilihan pemimpin baru yang diatur oleh AD/ART NU, maka pasal pemilihan rais aam dan ketua umum merujuk pada hasil sidang Komisi Organisasi yang digelar di Pesantren Mamba?ul Ma?arif Denanyar. SURYA/AHMAD ZAIMUL HAQ 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak ada lagi kegaduhan di antara muktamirin. Tak seorang muktamirin pun yang berdiri sembari mengacungkan tangan, bersahutan meminta bicara. Semua duduk dengan tenang, diam. Bahkan angin pun seperti berhenti bergerak di tenda besar tempat Rapat Pleno Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama digelar di Alun-alun Jombang.

Semua menyimak dengan takzim saat Pejabat Sementara Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Bisri berbicara di hadapan muktamirin, Senin (3/8).

KH Mustofa Bisri, yang akrab dipanggil Gus Mus, bersama kiai sepuh NU lainnya terpaksa turun tangan mengatasi kegaduhan muktamar, yang percikannya mulai terjadi sejak registrasi peserta pada Sabtu lalu.

Saat pemimpin sidang Slamet Effendy Yusuf memberi kesempatan Gus Mus bicara, keheningan menyeruak di antara muktamirin. Suara Gus Mus teduh tetapi tertahan.

"Ketika saya mengikuti persidangan-persidangan yang sudah lalu, (bicaranya terhenti sejenak) saya menangis karena NU yang selama ini dicitrakan sebagai organisasi keagamaan panutan, penuh dengan akhlakul karimah, yang sering mengkritik praktik-praktik tidak terpuji dari pihak-pihak lain, ternyata digambarkan dalam media massa begitu buruk," ujar Gus Mus.

Air mata Gus Mus tak tertahan lagi. Bicaranya bergetar menahan tangis. "Saya malu kepada Allah Ta'ala, malu kepada hadratusyaikh Kiai Haji Hasyim Asy'ari, malu kepada Kiai Abdul Wahab Hasbullah, malu kepada Kiai Bisri Syansuri, malu kepada Kiai Romli Tamin, dan pendahulu-pendahulu kita. Yang mengajarkan kita akhlakul rasul. Lebih menyakitkan lagi ketika pagi tadi saya disodori headline koran, muktamar NU gaduh," ujar Gus Mus tercekat menahan tangis.

Masih dengan berurai air mata, Gus Mus seperti pasrah menyerahkan semuanya kepada Allah. Muktamirin diajak bertawasul, mengirim doa. "La haula wala kuata illa bilah (Tiada daya dan upaya selain dari Allah). Saya mohon sekali lagi kita membaca surat fatihah dengan ikhlas. Kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad dengan mengharap syafaatnya. Kepada keluarga, sahabat-sahabat, tabiit tabiin, aulia dan ulama-ulama, khususnya ulama NU, dan terkhusus rais aam yang membuat saya di posisi seperti ini, (almarhum) Kiai Sahal Mahfudh," lanjut Gus Mus.

Berita Rekomendasi

Suara bergetar Gus Mus membuat muktamirin tertunduk diam. Kali ini kalimatnya dia tujukan kepada semua peserta muktamar. "Kenapa beliau (KH Sahal Mahfudh) wafat sehingga saya harus memikul tanggung jawab sebesar ini. Maka, saya minta pinjam telinga Anda sekalian, sebagai pejabat sementara rais aam. Doakan ini adalah terakhir, menjabat jabatan yang tidak pantas untuk saya," katanya. Sebagian muktamirin bertakbir.

Gus Mus melanjutkan, "Tapi, senyampang itu, saya mempunyai jabatan, Pejabat Sementara Rais Aam, dengarkan saya sebagai pemimpin tertinggi Anda. Kalau tidak, lupakan omongan saya."

Sembari terisak, Gus Mus berkata, "Kalau perlu saya menciumi kaki-kaki sampean semua. Saya akan mencium kaki-kaki Anda semua, agar Anda memperlihatkan akhlak jamiyah Nahdlatul Ulama, akhlaknya Kiai Hasyim Asy'ari."

Hampir semua muktamirin ikut menangis. Mereka seperti merasa bersalah tak menghormati kiai-kiai sepuh. Kegaduhan saat muktamar seperti tak menghormati wibawa kiai-kiai sepuh tersebut.

Mekanisme pemilihan

Minggu (2/8) malam, muktamar memang riuh karena peserta gaduh. Terbelah sikapnya saat membahas tata tertib muktamar. Pangkal persoalannya adalah pembahasan mekanisme pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Draf tata tertib menyebutkan, pemilihan rais aam dan ketua umum dilakukan melalui sistem perwakilan ahlul halli wa aqdi (AHWA). Peserta diminta mengusulkan sejumlah nama kiai untuk dipilih menjadi sembilan anggota AHWA. Nantinya AHWA yang akan memilih rais aam, pemimpin tertinggi jemaah NU.

Sebagian peserta menolak sistem AHWA. Penolakan bahkan terjadi sejak registrasi peserta muktamar. Panitia sempat mensyaratkan muktamirin mengusulkan 9 nama AHWA untuk dapat memperoleh kartu peserta resmi.

Perbedaan ini berlanjut sampai pembahasan tata tertib. Jadwal muktamar pun molor. Pembahasan tata tertib yang semestinya dilakukan setelah Presiden Joko Widodo membuka muktamar pada Sabtu malam terpaksa ditunda karena persoalan registrasi peserta belum selesai.

Ketika akhirnya pembahasan tata tertib dilakukan pada Minggu siang, perbedaan pendapat antara muktamirin yang setuju AHWA dan yang menolak membuat sidang pembahasan tata tertib mengalami kebuntuan (deadlock) pada malam harinya. Sidang diputuskan ditunda hingga Senin. Namun, hingga Senin siang tak ada tanda-tanda pembahasan tata tertib dilanjutkan.

Senin siang itu, Gus Mus menggelar pertemuan dengan sejumlah kiai sepuh NU dari seluruh Indonesia di Pendopo Kabupaten Jombang. Hasil musyawarah para kiai sepuh inilah yang disampaikan Gus Mus saat sidang pembahasan tata tertib mulai dilanjutkan pukul 14.30.

Gus Mus bercerita, dalam pertemuan bersama kiai-kiai sepuh itulah, mereka prihatin dengan kegaduhan muktamar. Dia mengingatkan, memang tak banyak solusi yang disepakati. Namun, sidang-sidang dalam muktamar NU jangan sampai seperti sidang di DPR.

"Cuma sedikit yang kami sepekati untuk solusi agar tidak sama dengan di Senayan. Pertama, apabila ada pasal yang belum disepakati dalam muktamar tentang pemilihan rais aam, tak bisa melalui musyawarah mufakat, maka akan dilakukan pemungutan suara oleh para rais syuriah," ujarnya.

Tangisan dan ketegasan Gus Mus sebagai ulama sepuh NU akhirnya menyelesaikan semua kegaduhan muktamar. "Kalau nanti Anda-Anda tidak bisa disatukan lagi, maka saya dengan para kiai memberikan solusi, kalau bisa musyawarah, kalau tak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita. Karena ini urusan pemilihan rais aam, maka kiai- kiai akan memilih pemimpin kiai," katanya.

Setelah Gus Mus selesai bicara, pemimpin sidang menyerukan kepada muktamirin, apakah setuju dengan penyelesaian tersebut. Semua menyatakan setuju. Tak ada lagi perbedaan dan kegaduhan. Kali ini, suara shalawat muktamirin yang bersahutan. (KHAERUDIN/ANTONY LEE)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2015, di halaman 4 dengan judul "Tangisan Gus Mus yang Menyadarkan".

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas