Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pilkada Calon Tunggal

Opsi menunda pilkada hingga tahun 2017 kiranya perlu ditinjau kembali.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Pilkada Calon Tunggal
KOMPAS
Tujuh daerah dengan calon tunggal kepala daerah pada pemilihan kepala daerah serentak 2015. 

Pertama, membuka perpanjangan pendaftaran tahap kedua yang dilengkapi kewajiban partai politik mengajukan pasangan calon. Hanya saja, pilihan ini tetap mengandung sejumlah risiko, seperti terganggunya tahapan pilkada serentak atau hadirnya calon boneka dari perselingkuhan kepentingan pragmatis parpol.

Kedua, melaksanakan pilkada calon tunggal dengan sistem bumbung kosong. Pilihan ini memiliki titik lemah yang amat krusial. Jika yang menang bumbung kosong, pilkada dengan biaya yang demikian mahal harus berakhir sia-sia.

Ketiga, pilkada calon tunggal tanpa pemilihan. Dalam sistem ini, calon tunggal disahkan sebagai calon kepala daerah terpilih tanpa harus dipilih. Tentu akan muncul pertanyaan, bukankah esensi pilkada adalah pemberian suara? Ya, tetapi hadirnya calon tunggal bukanlah kehendak penyelenggara, melainkan kehendak masyarakat politik yang merepresentasikan kemauan politik rakyat secara umum.

Dalam konteks itu, tidak dilakukannya tahap pemungutan suara bukan karena kegagalan pelaksanaan, melainkan tersebab kondisi alamiah pilkada yang menghendaki. Jika memang kehendak umum daerah yang membiarkan calon tunggal, lalu bagaimana mungkin hukum memaksanya menjadi dua calon?

Dari tiga pilihan tersebut, opsi memperpanjang pendaftaran tentu dapat digabung dengan opsi kedua atau ketiga. Guna memberikan kesempatan lebih luas untuk mengajukan calon, kiranya perppu perlu mengatur perpanjangan pendaftaran dengan waktu yang lebih panjang dan tetap memperhitungkan tahapan pilkada yang telah diatur secara nasional. Pada saat yang sama, perppu juga harus memilih apakah melaksanakan pilkada calon tunggal dengan bumbung kosong atau tanpa pemilihan. Dengan perkembangan yang ada, pilkada tanpa pemilihan dengan tingkat risiko yang lebih kecil tentu akan lebih tepat guna menyelesaikan kegagalan partai politik dalam proses pencalonan Pilkada 2015.

Khairul Fahmi
Dosen Hukum Tata Negara, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Pilkada Calon Tunggal".

Berita Rekomendasi
Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas