PKS Kritik Rizal Ramli: Menteri Mestinya Membantu Bukan Membantah Presiden
"Menteri mestinya pembantu presiden. Bukannya membantah presiden," tegas Mardani kepada Tribun, Jumat (14/8/2915).
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengingatkan Menko Kemaritiman Rizal Ramli agar menyadari bahwa posisinya saat ini adalah menteri pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pemerintahan.
Bukan sebagai pengkritik kebijakan dari program Presiden Jokowi.
Hal itu disampaikan Mardani menanggapi kritik Rizal Ramli terhadap target Presiden Jokowi dalam membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW).
"Menteri mestinya pembantu presiden. Bukannya membantah presiden," tegas Mardani kepada Tribun, Jumat (14/8/2915).
Jubir PKS ini mengingatkan bahwa Indonesia diambang krisis energi. Karena itu, perlu segera dikejar pembangunan pembangkit untuk mengaliri seluruh wilayah di tanah air.
Dan itu, tegas dia, sejalan dengan semangat Presiden Jokowi dan yang sering didegung-dengungkan selama ini, yakni agar para pembantunya kerja, kerja dan kerja mencapai seluruh program dan kebijakan pemerintah. Bukan malah mengeluarkan pernyataan yang kontra produktif pencapaian cita-cita Jokowi yang selama kampanye disuarakan ke publik.
"Komentar Menteri tidak sesuai dengan semangat 'Ayo Kerja.' Pak Presiden perlu merapikan manajemen pemerintahan. Pak Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bisa dioptimalkan," sarannya.
Sebelumnya, Rizal Ramli mengkritik target pemerintahan Jokowi membangun pembangkit listrik 35.000 megawatt terlalu sulit dicapai. Bahkan, dia menilai bahwa proyek yang dicanangkan Jokowi hinga 2019 itu tak masuk akal.
"Saya akan minta Menteri ESDM dan DEN (Dewan Energi Nasional) untuk lakukan evaluasi ulang mana yang betul-betul masuk akal. Jangan kasih target terlalu tinggi tapi capainya susah, supaya kita realistis." ujar Rizal Ramli di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Kamis (13/8/2015).
Menurut mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu, target pembangunan 35.000 megawatt semakin besar lantaran ditambah dengan sisa target pembangunan 7.000 megawatt listrik peninggalan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Jadi total pembangunan Pembangkit listrik hingga tahun 2019 menjadi 42.000 megawatt. Di sisi lain, kata dia, Perusahaan Listrik Negara (PLN) tak mampu lagi membiayai seluruh proyek yang ditargetkan pemerintah itu lantaran investasinya yang besar.
Oleh karena itu, opsi pembangunannya harus menggunakan dana swasta nasional dan asing. Namun negosiasi Power Purchase Agreement (PPA) di Indonesia membutuhkan waktu 2 hingga 3 tahun. "Kami akan kejar supaya bisa beres dalam 3 bulan," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.