Giri Suprapdiono Ingin Biaya Politik Seseorang Dibiayai Negara
Panitia seleksi Calon Pimpinan KPK, Harkristuti Harkrisnowo menyinggung Giri Suprapdiono mengenai keharusan negara membiayai ongkos politik seseorang
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia seleksi Calon Pimpinan KPK, Harkristuti Harkrisnowo sempat menyinggung paper yang dibuat oleh calon pimpinan KPK yang kini masih menjabat Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono mengenai keharusan negara membiayai ongkos politik seseorang dan partai politik.
Sebab menurut Pakar Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia itu, gagasan yang dituangkan Giri itu sifatnya usulan, bahkan tidak berkaitan dengan tugas KPK.
"Saya lihat di paper anda, di sini tertulis, apa yang harus dilakukan KPK ke depan, salah satunya adalah perlu memusatkan perhatian dan upaya dalam membangun sistem politik dan berintegritas, murah dan berkualitas? maknanya apa, anda mau masuk ke KPU atau bagaimana ini?" tanya anggota Pansel yang karib disapa Tuti kepada Giri saat tes wawancara terbuka, di Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (25/8/2015).
"Yang pertama begini Bu, setelah kami pelajar mengenai tangkap tangan KPK di penindakan, ternyata itu bermuara pada sistem politik yang mahal. Jadi pilkada orang menggunakan biaya sendiri," kata Giri.
Tak puas mendapat jawaban itu, Tuti kembali mencecar Giri dengan kembali menanyakan cara KPK berkaitan dengan gagasannya tadi.
"Jadi pertama kita harus buka dulu masalahnya seperti apa. Itu berdasarkan kajian kami ketemu Bu, bahwa sistem politik kita mahal, maka negara harus bertanggungjawab di sini. Negara harus membiayai biaya politik seseorang, dan negara tidak boleh membiarkan saja masalah ini. Karena seorang politikus dengan biaya-biaya pribadi atau mencari urunan kepada partai politik itu membutuhkan cost yang sangat tinggi," kata Giri.
"Oleh karena itu ke depan menurut saya, saya usulkan bagaimana negara membiayai secara cukup. Metodenya bermacam-macam," sambung Giri.
Meski telah memaparkan dengan panjang, ternyata jawaban Giri masih dianggap belum memadai. Bahkan Tuti menegaskan bahwa itu bukan berkaitan dengan kerja KPK.
"Intinya adalah itu bukan kerjanya KPK. Ya kan? KPK minta negara harus membayar. Kan KPK tidak bisa. Itu kan harus meminta ke negara. Nuwun bahasa Jawa-nya kan. Kalau negara bilang tidak bisa bagaimana toh," kata Tuti.
Kukuh mempertahankan usulannya itu, Giri kembali mencoba menjelaskannya. Menurutnya KPK saat ini, memiliki tugas dan kewenangan yang memonitor dan mereview sistem negara. Karenanya kata Giri sangat masuk akal hal itu bisa diterapkan.
"Kita punya kewenangan dan tugas yang namanya monitoring, jadi bisa mereview sistem di negara," tegasnya. (Edwin Firdaus)