SDA Bersikukuh Tak Korupsi, Jaksa: Itu Wujud Kemunduran Berpikir
Dalam kesempatan itu, Jaksa menyindir soal keresahan Suryadharma yang masih yakin dirinya tak terlibat korupsi
Penulis: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab nota keberatan (eksepsi) mantan Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (14/9/2015).
Dalam kesempatan itu, Jaksa menyindir soal keresahan Suryadharma yang masih yakin dirinya tak terlibat korupsi atau makan uang haram.
Jaksa Mochamad Wirasakjaya membeberkan soal fenomena ibadah haji yang sangat diminati di Indonesia. Selain untuk menjalankan rukun Islam, beribadah haji juga dianggap sejumlah orang sebagai prestise.
"Pendapat penuntut umum, eksepsi ini punya fenomena sendiri sehingga nggak jarang ada orang yang ibadah haji ingin menambah gelar haji dengan menambahkan huruf H besar depan namanya. Bahkan ada pengacara yang marah lantaran identias kliennya tidak disertakan dengan gelar haji," katanya saat membacakan surat tanggapan atas eksepsi dalam sidang Suryadharma di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (14/9/2015).
Jaksa Wirasakjaya menjelaskan, terdakwa kasus penyalahgunaan Dana Operasi Menteri (DOM) dan ibadah haji, dalam posisinya sebagai Menteri Agama seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan dan kejujuran.
"Tidak berlebihan, oleh karena itu jika ada tindak pidana korupsi di dalamnya, maka harus diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sangat naif jika memaknai tindak pidana korupsi hanya dari beberapa banyak uang yang dikorupsi. Itu wujud kemunduran berpikir," katanya.
Dirinya meminta jangan menggunakan cara berpikir bahwa perbuatan pidana korupsi dirumuskan secara menyeluruh. Bukan hanya memperkaya atau menguntungkan pelaku sendiri, namun juga bisa memperkaya atau menguntungkan orang lain dan korporasi.
"Pemikiran itu jangan dianggap korupsi dipandang hanya memperkaya diri atau meperkaya keluarga atau terdakwa, serta pihak lain. Bukankah telah merumuskan tindak pidana korupsi ngga hanya memperkaya atau menguntungkan diri sendri," katanya.
Sebelumnya, mantan Ketua Umum PPP itu merasa jadi korban politis. Dirinya juga mempertanyakan penyitaan kiswah atau kain penutup Ka'bah yang dijadikan alasan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjeratnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Surya bahkan membuat nota keberatan atau eksepsi yang dibacanya di hadapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan "Selembar Potongan Kiswah, KPK membawa SDA ke Penjara".
Dirinya menjelaskan bahwa kiswah dilihat dari aspek sejarah pada jaman dahulu memiliki makna luar biasa.
"Terbuat tulisan dari benang emas, ada zamrud, emerald bahkan sebesar telur burung pada zaman itu. Tapi kalau kiswah yang ada pada saya tidak dapat membuat saya memperkara diri. Tidak punya nilai ekonomis, tapi memiliki nilai agamis, dan kiswah itu banyak dijual di toko-toko maupun kaki lima di Mekkah dan Madinah, bukan sesuatu yang wah," katanya.
Potongan kiswah yang dijadikan alat bukti oleh KPK itu, ujar Surya, adalah hasil penggeledahan di rumahnya pada 28 Mei 2015. Padahal dia sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Mei 2014. Surya mempertanyakan mengapa alat bukti itu baru disita setelah setahun lebih ia menjadi tersangka.
Jaksa penuntut umum dari KPK, Abdul Basir, mengatakan, sebuah barang bukti yang disita tak harus memiliki nilai berharga dan merugikan negara.
"Memang ada alat bukti harus brg berharga ya? Ngga ada urusannya, kerugian keuangan negara itu sama sekali tidak terkait dengan itu. Jadi dalam korupsi bedakan ada unsur menguntungkan dan merugikan keuangan negara," kata Basir seusai sidang.
Basir menyebut pembuktian soal kiswah dan kaitannya dengan tindak rasuah Surya akan diungkap selama proses persidangan.
Dalam dakwaan jaksa, Surya dituding menerima Rp 1,8 miliar dari penyelenggaraan haji. Dia juga dituding menerima selembar kiswah dari seorang pengusaha.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.