ICJR Ungkap Kekurangan MK soal Putusan Prosedur Pemeriksaan Anggota Dewan
Supriyadi W Eddyono menyebutkan ada dua kekurangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal prosedur pemeriksaan anggota dewan.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono menyebutkan ada dua kekurangan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pasal prosedur pemeriksaan anggota dewan.
Pertama, MK menurutnya tidak menjelaskan secara spesifik status hukum dan jenis pemeriksaan anggota dewan yang membutuhkan izin dari Presiden.
Menurut Supriyadi, kalau pun putusan MK didasarkan pada perlindungan kepada pejabat negara agar terhindar dari rekayasa kasus, seharusnya perlindungan tersebut diberikan dalam hal terjadi proses upaya paksa. Misalnya, penangkapan atau penahanan, karena sudah pasti akan mengganggu kinerja dari anggota DPR yang bersangkutan.
Namun, dalam konteks Pasal 245 Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), tidak jelas kualifikasi status hukum dari anggota DPR atau dalam tahapan apa izin diberikan. Begitu juga apakah dalam status sebagai saksi atau tersangka.
"Kecenderungan Pasal 245 UU MD3 mutlak adalah untuk melindungi anggota DPR terhadap semua jenis tindakan," kata Supriyadi kepada wartawan, Rabu (23/9/2015).
Selain itu, MK dalam putusannya, menurutnya sama sekali tidak solutif dengan penundaan yang terlalu lama, yakni 30 hari dari proses perlindungan anggota DPR.
Walau nantinya dapat juga dilakukan pemeriksaan secara otomatis apabila Presiden tidak mengeluarkan izin, namun penundaan yang begitu lama berpotensi mengurangi hak korban tindak pidana dalam pencarian keadilan. Proses peradilan juga akan terganggu dan tertunda.
ICJR juga memandang pemberian izin sangat berpotensi konflik kepentingan dan membuka peluang besar untuk eksekutif 'menyandera' anggota dewan, sebab anggota dewan itu harus 'balas budi' jika sudah dilindungi.
Sebelumnya, Hakim Konstitusi memutuskan penegak hukum harus mendapat izin presiden jika ingin memeriksa anggota DPR, MPR dan DPR. Sementara bila ingin memeriksa anggota DPRD tingkat provinsi harus izin Mendagri, dan anggota DPRD kota/kabupaten harus izin Gubernur.
Namun, aturan itu tidak berlaku dalam hal anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana HAM berat, disangka melakukan tindak pidana yang ancamannya hukuman mati dan seumur hidup, serta disangka melakukan kejahatan-kejahatan yang masuk dalam pengaturan tindak pidana khusus. (Edwin Firdaus)