Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Terkendala Bukti
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus seputar peristiwa 1965, belum juga rampung.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat termasuk kasus seputar peristiwa 1965, belum juga rampung.
Pemerintah belum bisa memutuskan apakah kasus tersebut akan diselesaikan melalui jalur pengadilan atau melalui rekonsiliasi.
Komisioner Komnas HAM, Nur Kholisn saat dihubungi TRIBUNnews.com, mengatakan bahwa Komnas HAM sudah menyampaikan hasil penelusuran Komnas HAM soal adanya unsur pelanggaran HAM berat, pada tujuh kasus yang selama ini menjadi sorotan masyarakat.
Kasus tersbeut antara lain peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Kasus Talangsari-Lampung 1989, Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999, dan Wasior Wamena 2001-2003.
Bertahun-tahun hasil penelusuran Komnas HAM selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung. Penelusuran Komnas HAM selalu dianggap kurang lengkap, sehingga sulit untuk dibawa ke pengadilan. Padahal Kejaksaan Agunglah yang seharusnya mengumuplkan bukti-bukti persidangan.
"Kami kan hanya mengumpulkan bukti soal aspek pelanggaran HAM, soal pencarian bukti-bukti untuk persidangan, itu Kejaksaan Agung lah yang harus melakukan," katanya.
Namun Komnas HAM menghargai bila memang Kejaksaan Agung menilai tujuh kasus tersebut sulit diungkap di persidangan, karena memang sebagian peristiwanya sudah puluhan tahun lalu terjadi sehingga orang-orang yang diduga terlibat sudah meninggal.
Pemerintah kini tengah membentuk tim yang terdiri antara lain dari Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Komnas HAM.
Mereka akan menentukan rekomendasi untuk Presiden Joko Widodo. Nantinya Presiden akan memutuskan penyelesaian kasus tersebut.
Berdasarkan sejumlah rapat yang sempat ia ikuti, ia meyakini tim akan merekomendasian Presiden untuk membentuk lembaga rekonsiliasi, untuk menyelesaikan kasus di luar pengadilan.
"Sekarang di tangan Presiden, cepat atau lambatnya penyelesaian kasus itu, ada di tangan Presiden," ujarnya.