Politikus PKS Nilai Pemerintah Jadikan Kabut Asap sebagai Komoditas Politik
Pemerintah cenderung mempertimbangkan hitungan politik dalam menetapkan suatu bencana.
Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Nasir Djamil meminta Pemerintah untuk tidak ragu dalam menetapkan status bencana atas kabut asap yang melanda sejumlah wilayah beberapa bulan terakhir ini.
"Bencana kabut asap yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan dan bahkan meluas ke negara tetangga telah layak ditetapkan sebagai bencana sebagaimana ketentuan UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana," kata Nasir dalam keterangannya, Kamis (21/10/2015.
Hal ini, klaim Nasir, telah sesuai dalam definisi bencana yang dinyatakan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No 24 Tahun 2007. Pasal tersebut menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
"Persoalan kabut asap telah memenuhi unsur dalam definisi bencana tersebut,sehingga Pemerintah tak perlu banyak alasan untuk menunda penetapan bencana pada kabut asap ini," tegas Nasir.
Meski demikian, dia tak memungkiri adanya kesulitan pemerintah dalam menetapkan status bencana karena belum adanya Peraturan Presiden mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana mandat Pasal 7 ayat (3)Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
"Sangat disayangkan jika Pemerintah tak kunjung menyusun peraturan presiden yang merupakan mandat delegasi suatu Undang-Undang yang telah diundangkan sejak 2007," kata Nasir.
Lebih lanjut Nasir menilai lambatnya pembuatan peraturan presiden ini menunjukan sejauhmana komitmen pemerintah selama ini dalam menyikapi bencana.
"Belum adanya peraturan presiden mengenai penetapan status dan tingkatan bencana, tidak lantas membenarkan lambatnya respon Pemerintah dalam menetapkan bencana kabut asap ini, karena hal ini menyangkut nasib penghidupan dan jaminan perlindungan korban terkena dampak langsung yang harus segera mendapatkan penanganan pemerintah sesuai standar bencana," kata Nasir.
Lagipula, menurut Nasir, penetapan status bencana tak akan menghilangkan pertanggungjawaban pidana orang atau badan usaha yang terbukti sebagai penyebab kebakaran lahan dan hutan. Sebab pertanggungjawaban pidana dalam kasus kebakaran lahan dan hutan merupakan bagian yang terpisah dari penetapan bencana.
"Sehingga, setiap orang atau badan usaha yang terbukti penyebab kebakaran hutan dan lahan, tetap wajib bertanggung jawab secara pidana dan bahkan bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Nasir.
Untuk itu, Nasir menyayangkan jika persoalan kabut asap ini justru dijadikan komoditas politik sehingga Pemerintah cenderung mempertimbangkan hitungan politik dalam menetapkan suatu bencana.
"Masyarakat terkena dampak sudah mendesak untuk segera dievakuasi dan diberikan langkah tanggap darurat terutama pada kelompok rentan. Penetapan status bencana jangan dijadikan komoditas politik, karena status bencana dalam hal ini dapat menciptakan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya mitigasi dalam mengantisipasi peristiwa kabut asap berikutnya," imbuhnya.