Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

PKS Desak Judicial Review Aturan Pembakaran Pembukaan Lahan

PKS mendesak judicial review atau uji materi terhadap peraturan terkait perizinan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
zoom-in PKS Desak Judicial Review Aturan Pembakaran Pembukaan Lahan
Banjarmasin Post/Fathurahman
Dua orang pekerja di lahan terbakar di jalur Palangkaraya- Kabupaten Gunungmas, Senin (6/10/2014). 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bencana kabut asap yang meluas hingga melingkupi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua telah menimbulkan banyak korban.

PKS mendesak judicial review atau uji materi terhadap peraturan terkait perizinan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.

Ketua Bidang Ekuintek-LH DPP PKS Memed Sosiawan mengatakan, PKS telah melakukan kajian terhadap bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini.

Menurutnya, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada petani kecil yang memiliki lahan antara 2 sampai 5 ha untuk membuka lahan dengan cara pembakaran.

Peraturan tersebut antara lain UU No 32 tahun 2009 Pasal 69 ayat (2), Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup No 10/2010 Pasal 4 ayat (1), dan Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah No 15/2010 pasal 1 ayat (1)-(4).

"Pengujian terhadap UU No 32/2009 Pasal 69 ayat (2) yang membolehkan masyarakat lokal melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 ha/KK karena undang-undang tersebut rentan dan kenyataannya diselewengkan serta telah menelan korban tidak berdosa, harus segera diajukan ke Mahkamah Konstitusi," kata Memed dalam keterangannya, Rabu (28/10/2015).

Berita Rekomendasi

Memed mengatakan, jika ditelusuri lebih jauh, pembakaran untuk membuka atau membersihkan lahan (land clearing) dalam area usaha perkebunan, lebih mudah dan murah.

Cara-cara seperti ini terus dilakukan setiap tahunnya, tanpa ada usaha yang berarti untuk menghentikannya. Karena itu menurut Memed, perlu langkah-langkah konstitusional untuk menghentikan pembakaran lahan tersebut.

Mantan anggota DPR RI ini menambahkan, membuka lahan dengan cara-cara tradisional di area perkebunan dengan sistem pembakaran atau slash and burnt karena lebih menguntungkan.

Dia mencontohkan, biaya penyiapan lahan dengan cara bakar relatif murah sekitar Rp 500 ribu per ha, dibandingkan dengan cara mekanis yang mencapai Rp 2,5 juta per ha.

"Bagi para petani kecil yang tidak mempunyai cukup teknologi, tenaga dan modal untuk membuka lahan secara mekanis maka cara bakar atau slash and burnt menjadi satu-satunya alternatif," imbuhnya.

Memed menambahkan, kenyataan di lapangan berdasarkan peta 3.226 titik api atau hot spot yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua maka ada puluhan ribu hektar luas lahan perkebunan yang terbakar. Tentu saja luasan puluhan ribu hektar tersebut bukan hanya milik petani kecil yang luas lahannya hanya 2 hektar sampai 5 hektar.

Ada sekitar 120 perusahaan perkebunan besar di Sumatera dan Kalimantan yang lahannya terbakar. Artinya, perusahaan-perusahaan besar diduga juga melakukan pembakaran lahan atau slash and burnt sehingga menyebabkan lahan yang terbakar menjadi sangat luas.

"Terdapat daya tarik ekonomi bagi pengusaha besar untuk melakukan pembakaran lahan (slash and burnt), untuk membuka dan membersihkan lahan (land clearing), ada selisih penghematan sebesar Rp 2,0 juta per hektar apabila menggunakan pembakaran lahan daripada menggunakan cara mekanis dengan peralatan modern," jelas Memed.

Dengan luas lahan terbakar sekitar 16.600 hektar saja di Sumatera dan Kalimantan, kata Memed, ada potensi penghematan dan keuntungan sebesar Rp 33,2 miliar pertahun kalau modus pembakaran lahan digunakan secara rutin dan menjadi bisnis untuk membersihkan lahan di akhir musim kemarau menjelang musim penghujan.

"Lemahnya pengawasan oleh aparat pemerintah pusat dan daerah menyebabkan pembakaran lahan tidak hanya dilakukan oleh petani kecil, bahkan sebagian besarnya terjadi di area lahan perusahaan perkebunan besar," ujar Memed.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas