Kabareskrim Bantah Surat Edaran Kapolri untuk Bungkam Suara Kritis di Media Sosial
Ia pun tidak mempermasalahkan adanya surat edaran soal ujaran kebencian tersebut.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti telah mengeluarkan Surat Edaran Kapolri nomor SE/06/X/2015 soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech.
Atas surat edaran itu, Kabareskrim Komjen Anang Iskandar dan seluruh jajaran resersenya hingga ke daerah siap untuk melaksanakan.
Ia pun tidak mempermasalahkan adanya surat edaran soal ujaran kebencian tersebut.
"Bareskrim sebagai ujung tombak siap. Kami kan punya Subdit Cyber yang bisa menjangkau seluruh Indonesia, dan kami siap melaksanakan," tutur Anang, Jumat (30/10/2015) di Kejagung.
Lebih lanjut, mantan Kepala BNN itu juga membantah surat edaran itu dibuat untuk membungkam suara kritis publik.
Menurutnya, suara kritis saat ini termasuk media sosial sudah tidak bisa dibungkam.
"Media sosial seperti sekarang ini mana bisa dibungkam. Coba sampean bisa gak dibungkam? Kan tidak bisa to," katanya.
Anang menambahkan yang terpenting ialah jangan terlalu berlebihan. Pasalnya apabila berlebihan dan ada yang melapor, maka itu bisa diproses hukum. "Kalau nulis jangan sampai mengganggu privasi orang," singkatnya.
Untuk diketahui, Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian (hate speech) Nomor SE/06/X/2015 diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.
Dalam salinan SE yang diterima dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, Kamis (29/10/2015), disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
-Bentuk, Aspek dan Media Hate Speech-
Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: 1. Penghinaan, 2. Pencemaran nama baik, 3. Penistaan, 4. Perbuatan tidak menyenangkan, 5. Memprovokasi, 6. Menghasut, 7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.
Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: 1. Suku, 2. Agama, 3. Aliran keagamaan, 4. Keyakinan atau kepercayaan, 5. Ras, 6. Antargolongan, 7. Warna kulit, 8. Etnis, 9. Gender, 10. Kaum difabel dan 11. Orientasi seksual.
Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: 1. Dalam orasi kegiatan kampanye, 2. Spanduk atau banner, 3. Jejaring media sosial, 4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), 5. Ceramah keagamaan, 6. Media masa cetak atau elektronik dan 7. Pamflet.
Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertianujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”.
-Prosedur Polisi menangani Hate Speech-
Adapun, pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur Polisi dalam menangani perkara yang didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas. Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian. Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian. Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujarankebencian.
Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat, melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian, mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujarankebencian, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dariujaran kebencian di masyarakat;
Terakhir, jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.