Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Skandal 'Papa Minta Heli' Bukti Tak Ada Lagi Nasionalisme

Heli buatan Italia itu dibeli dengan menggunakan uang rakyat di saat banyak rakyat yang jatuh miskin dan kelaparan

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Skandal 'Papa Minta Heli' Bukti Tak Ada Lagi Nasionalisme
www.eckhel.com
Helikopter Agusta 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --  Sejumlah kalangan sangat geram karena rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap memaksakan diri memilih helikopter buatan Italia, Agusta, yang nyata-nyata melecehkan produk buatan PT Dirgantara Indonesia (DI), yang lebih pantas digunakan sebagai heli kepresidenan.

Skandal 'Papa Minta Heli' dengan memilih heli buatan Italia dibandingkan Super Puma buatan PT DKI membuktikan, nasionalisme sudah tergadaikan para elit.

Penilaian itu disampaikan anggota Komisi I DPR, bidang pertahanan dan keamanan, TB Hasanuddin.

"Ya, bisa jadi Heli Agusta itu dianggap terbaik oleh Menkopolhukam, itu terserah saja. Saya bukan ahli perlengkapan heli," katanya di Jakarta, Jumat (27/11/2015).

Masalahnya, kata politisi PDI Perjuangan, yang akrab disapa TBH ini, heli buatan Italia itu dibeli dengan menggunakan uang rakyat di saat banyak rakyat yang jatuh miskin dan kelaparan.

"Ketika pemerintah membelinya dengan uang rakyat, maka pemerintah harus taat pada UU yang ada, dalam hal ini, UU no 16 tahun 2012 tentang industri pertahanan," katanya.

Di mana, kata TBH, tidak dibenarkan membeli alat utama dari luar negeri bila di dalam negeri sudah mampu membuatnya.

Berita Rekomendasi

"Super Puma produk Pt DI sudah dipakai sejak presiden Soeharto sampai presiden SBY dan hasilnya cukup handal, aman, nyaman, dan banyak digunakan kepala negara lainnya," katanya.

Andaikan pemerintah tetap akan memaksa membeli heli AW 101 Agusta produk Italia itu, kata TBH, maka tetap ada aturan yang mewajibkan Agusta Italia wajib menggandeng industri pertahanan dalam negeri, dalam hal ini, dia harus mengikutsertakan PT DI.

"Tanpa kerja sama dengan industri pertahanan, itu juga merupakan pelanggaran serius terhadap UU . Saran saya, tetaplah menggunakan Super Puma, produk dalam negeri, banggalah dengan karya anak bangsa. Saatnya kita menunjukkan rasa nasionalisme," katanya.

Menyimak penjelasan KSAU, menurut TBH, soal penjelasan tentang rencana pembelian heli AW 101 untuk VVIP, maka sesuai dengan Renstra pengadaan heli, saat itu, tahun 2009, DPR menyetujui pengadaan hely produk PT DI sebanyak 16 unit (satu squadron), yang terdiri dari hely angkut/SAR dan hely angkut VVIP.

"Dari 16 unit itu, diprogram dalam dua tahap yaitu renstra 2009/2014 dan renstra 2015/2019, semua direncanakan akan dibeli dari dalam negeri produk PT DI, bukan buatan impor dari Italia," katanya

Dalam Renstra 2009/2014 telah terpenuhi sebanyak 6 unit hely Super Puma dan sisanya 10 unit lagi akan diselesaikan dalam Renstra 2015/2019 .

Dalam hal ini, kata TBH, TNI AU tetap konsisten menggunakan produk dalam negeri sesuai dengan UU no 16/2012 tentang industri pertahanan .

"Untuk memenuhi 10 unit lagi, demi kelancaran produksi dan percaya pada komitmen TNI AU saat itu , maka PT DI telah melakukan investasi dalam rangka persiapan pembuatan kesepuluh heli itu," katanya..

Tapi, kata TBH, sangat disesalkan kalau kemudian muncul ide merubah pembelian heli Super Puma produk PT DI menjadi AW 101 buatan Itali/ inggris.

"Di samping merugikan negara, dalam hal ini, PT DI, yang sudah berinvestasi banyak, juga telah melanggar UU no 16/2012 pasal 43 ayat 1, yang menyatakan bahwa pengguna wajib menggunakan alat peralatan pertahanan produksi dalam negeri," katanya.

Kebijakan mengganti Super Puma dengan AW 101, menurut TBH, sejatinya tidak sesimpel itu karena Agusta Itali harus menggandeng industri dalam negeri sesuai pasal 43 ayat 5: yaitu harus mengikut sertakan industri pertahanan dalam negeri, adanya kewajiban alih teknologi, adanya imbal dagang, mengikuti ketentuan kandungan lokal, dan aturan lainnya.

"Untuk ini semua, harus mendapat izin dari presiden karena presiden adalah ketua KKIP sesuai pasal 22 dalam UU tersebut," katanya.

"Siapa lagi yang mau menggunakan produk dalam negeri, kalau bangsa sendiri tidak mau menggunakannya . Dengan membeli dari Pt DI maka 30 % dari uang rakyat itu akan kembali ke negara , setidaknya dalam bentuk pembelian bahan baku lokal , dan 700 tehnisi anak bangsa bisa melanjutkan hidupnya dari perusahaan ini," kata TBH.

"Kami berharap, seandainya ada hal yang kurang beres baik dalam hal kemampuan teknis atau tata kelolanya , mari kita perbaiki bersama. Jangan kemudian, kita alihkan pembeliannya ke produk luar negeri. Majunya industri pertahanan ini membutuhkan komitmen bersama semua anak bangsa," katanya menyatakan rasa keprihatinan mendalam.

Pada kesempatan pertama, kata TBH, DPR akan menanyakan alasan mengapa program pembelian dari PT DI ini dibatalkan dan diganti dengan pesawat lain .

"DPR juga akan melakukan investigasi berapa harga sesungguhnya mengingat harga satu unit AW 101 seharga 55 juta USD itu diperkirakan sangat mahal," katanya.

DPR, kata TBH, juga akan menanyakan, apakah pemilihan AW 101 itu sudah seizin ketua KKIP, yang dalam hal ini dijabat oleh presiden.

"Perlu penjelasan terbuka agar rakyat tidak bingung," katanya. (Gde Moenanto)

Sumber: Warta Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas