"Paduka Yang Mulia Pimpinan DPR" Jadi Bahan Tertawaan di Gedung Dewan
"Silahkan Yang Mulia Akbar Faizal bertanya," kata Benny.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Proses persidangan di Mahkamah Kehormatan Dewan yang kini sedang menangani kasus dugaan pelanggaran etika Ketua DPR Setya Novanto akan segera memasuki babak akhir.
Namun, sidang yang telah berlangsung sejak akhir November 2015 lalu justru dianggap menyisakan bahan canda.
Awalnya, pelaksanaan sidang MKD biasanya berlangsung tertutup. Namun, karena ada desakan dari masyarakat, sidang dengan pelapor Menteri ESDM Sudirman Said itu berlangsung terbuka.
Sidang pun memutar rekaman pertemuan antara Novanto, pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin pada 8 Juni 2015 lalu,
Drama perdebatan pun dipertontonkan selama persidangan terbuka berlangsung. Selama perdebatan terjadi, frasa "Yang Mulia" selalu keluar untuk menyebut anggota MKD.
"Yang Mulia" menjadi sapaan yang digunakan untuk interupsi, baik dari anggota ke pimpinan, maupun sebaliknya.
Belakangan, frasa "Yang Mulia" justru menjadi bahan candaan antar anggota dewan. Seperti terlihat ketika Komisi III DPR menggelar fit and proper test terhadap calon pimpinan KPK, Senin (14/12/2015).
Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman yang memimpin jalannya fit and proper test bahkan sempat memanggil sebutan "Yang Mulia" kepada anggota Komisi III dari Fraksi Nasdem, Akbar Faizal, ketika ia ingin bertanya kepada capim Johan Budi.
Akbar merupakan salah satu anggota MKD.
"Silahkan Yang Mulia Akbar Faizal bertanya," kata Benny.
Frasa "Yang Mulia" pun kembali muncul ketika rapat paripurna diselenggarakan pada hari ini.
Kali ini, giliran anggota Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat, yang menggunakan frasa tersebut ketika menyampaikan interupsi kepada pimpinan rapat.
"Paduka Yang Mulia pimpinan DPR, saudara Menteri Hukum dan HAM dan saudara Menteri Keuangan yang saya hormati," kata Martin.
Interupsi Martin tersebut lantas membuat 287 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna itu tertawa. Tak terkecuali lima pimpinan DPR yang hadir pada rapat tersebut.
Setelah menyampaikan keberatannya atas usulan Badan Legislasi untuk memasukkan pembahasan RUU Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas Prioritas 2015, Martin menyinggung persoalan penggunaan frasa "Yang Mulia" di persidangan MKD.
Anggota Komisi I DPR itu mengatakan, frasa "Yang Mulia" merupakan istilah lama yang telah dihapuskan sejak tahun 1966 dengan menggunakan ketentuan di dalam TAP MPRS.
Sebab, frasa tersebut merupakan frasa yang digunakan di masa feodalisme.
"Yang Mulia itu sekarang menjadi bahan lelucon. Setiap kali kita ketemu orang, kita dipanggil dengan Yang Mulia," ucap Martin.
"Tetapi justru perbuatan yang kita (oknum DPR) contohkan di masyarakat tidak mulia," kata dia.
Adapun penghapusan "Yang Mulia" ditentukan dalam Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari”.
Martin pun heran, mengapa frasa yang telah dihapus penggunaannya itu justru muncul kembali. Terlebih, frasa itu muncul di mahkamah persidangan yang mengadili persoalan etik.
"Kenapa setelah 50 tahun dihapus, itu justru muncul kembali?" tutur Martin.
Penulis : Dani Prabowo