Periksa Setya Novanto, Kejaksaan Agung Tunggu Jawaban Jokowi
"Sampai sekarang belum ada jawaban," kata Amir.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung hingga kini belum menerima jawaban dari Presiden Joko Widodo terkait permohonan untuk meminta keterangan dari anggota DPR, Setya Novanto.
"Sampai sekarang belum ada jawaban," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Amir Yanto di kantornya, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (4/1/2015).
Mengenai adanya pendapat bahwa pemanggilan anggota legislatif harus melalui izin presiden sesuai Undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) tidak berlaku untuk perkara tindak pidana khusus, Amir Yanto menyatakan pihaknya hanya mencoba mengikuti prosesdur hukum.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah menyebutkan telah mengajukan permintaan izin dari presiden sebagai upaya Kejaksaan memenuhi prosedur yang berlaku untuk meminta keterangan dari Politisi Senior Partai Golkar tersebut.
Terkait sejak kapan Kejaksaan mengirimkan surat permohonan permintaan keterangan Setya Novanto dari presiden, Jampidsus menolak menjawab.
Permintaan izin dari presiden untuk meminta keterangan anggota DPR sesuai pasal 245 Undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Namun menurut mantan Pimpinan KPK, Indrianto Seno Adji, regulasi tersebut berlaku pada tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut Novanto meminta sejumlah saham PLTA Urumka Papua dan menjanjikan memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.