Wacana Menghidupkan GBHN
Sejalan dengan pandangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga menghendaki haluan yang jelas tentang pembangunan Indonesia.
Editor: Hasanudin Aco
Jika disusun sebelum proses pelaksanaan pemilihan, hampir dapat dipastikan semua calon hanya perlu menyampaikan dalam kampanye bahwa jika terpilih, mereka akan melaksanakan yang telah digariskan dalam GBHN.
Sebaliknya, jikalau disusun setelah pemilihan, substansi GBHN tentu lebih banyak mengakomodasi pohon janji yang disampaikan pasangan calon terpilih dalam masa kampanye.
Bagaimanapun, dalam batas penalaran yang wajar, janji-janji selama kampanye pasti menjadi salah satu perimbangan penting dalam menentukan pilihan.
Jikalau presiden yang terpilih tidak menunaikan janji karena tidak diakomodasi dalam GBHN, tentu saja hal itu menimbulkan rasa kecewa bagi mereka yang telah memilih.
Persoalan lain yang tidak kalah serius, membayangkan GBHN dibuat MPR tentu saja menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dalam posisi seperti ini, GBHN yang dibuat MPR tentu saja akan menghadirkan pola sistem pertanggungjawaban presiden kepada MPR.
Sekiranya ini, sebagaimana pengalaman sebelumnya, tidak mungkin menghindarkan pertanggungjawaban politik presiden kepada MPR.
Melihat perilaku sebagian kekuatan politik dan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin konsekuensi kehadiran GBHN akan sangat menyulitkan presiden.
Pada saat ini, dengan hilangnya bentuk pertanggungjawaban politik kepada MPR, presiden pun hampir selalu berada dalam tekanan politik untuk dimakzulkan.
Begitu pula dengan keinginan membuat GBHN untuk mewadahi pembangun jangka panjang, semisal 30-50 tahun ke depan.
Hampir dapat dipastikan gagasan ini lebih banyak hadir karena romantisisme pengalaman di bawah pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Namun perlu diingat, di era sebelumnya, terutama di era pemerintahan Presiden Soeharto, GBHN sangat mungkin membuat jangka waktu yang begitu panjang karena kekuatan politik mayoritas di MPR berada dalam kendali sepenuhnya Presiden Soeharto.
Melihat situasi politik saat ini, siapa pun yang terpilih menjadi presiden hampir dapat dipastikan tidak akan memiliki kemampuan untuk mengendalikan secara total kekuatan-kekuatan politik di MPR.
Artinya, jika terjadi pergeseran kekuatan politik di MPR karena perubahan dukungan suara pemilih di pemilu legislatif, sangat mungkin kekuatan politik baru akan mengubah GBHN yang telah ditetapkan MPR sebelumnya.
Dengan demikian, gagasan membuat GBHN untuk pola pembangunan jangka panjang pasti tidak akan semudah era pemerintahan Presiden Soeharto.
Namun, di atas itu semua, meski dengan sesadar-sadarnya kita memerlukan arah pembangunan nasional, membayangkan GBHN dengan pola MPR sebelum perubahan UUD 1945 tentu tidak begitu tepat lagi.
Yang perlu dipertimbangkan, pola GBHN dengan meletakkan peran di MPR sangat mungkin berbenturan dengan sistem presidensial yang disepakati dipertahankan saat perubahan UUD 1945.
Kalau hendak mengembalikan pola lama, jalan yang harus ditempuh kembali secara utuh pada pola hubungan antarlembaga sebelum perubahan UUD 1945 atau campakkan sistem presidensial.
Langkah awal
Terlepas dari catatan di atas, saya menyarankan, langkah awal yang harus dilakukan adalah mencari sebab utama arah pembangunan yang semakin tidak padu tersebut.
Misalnya, kita harus dengan jujur melihat perencanaan pembangunan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Misalnya, bagaimana melihat ketersambungan antara rencana yang disusun Bappenas, penyusunan RAPBN di Kementerian Keuangan, dan pembahasan RAPBN di DPR.
Dari beberapa diskusi yang pernah saya ikuti, rencana yang disusun Bappenas akan mengalami pergeseran ketika disusun dalam bentuk RAPBN.
Lalu, proses politik di DPR ketika persetujuan RAPBN sangat mungkin membuat pembelokan yang jauh lebih tajam.
Artinya, jika dirunut antara materi yang direncanakan Bappenas dengan yang diturunkan menjadi angka dalam anggaran dan setelah persetujuan DPR, apakah itu masih sesuai dengan yang direncanakan?
Titik ini harus mendapat perhatian serius karena manuver pembahasan di DPR bisa saja tidak lagi mengikuti perencanaan yang dibuat sejak awal.
Dalam logika UUD 1945, legislasi RAPBN diletakkan dalam Pasal 23 dan tidak disatukan dengan legislasi dalam Pasal 20 yang membatasi wewenang DPR dalam pembahasan RAPBN.
Logikanya sederhana, jika dibiarkan membahas seperti membahas RUU biasa, proses di DPR sangat mungkin merusak perencanaan.
Selain soal itu, bagi pasangan calon presiden, seberapa jauh mereka merujuk perumusan visi-misi sebagai calon pada tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks ini, seharusnya calon presiden tidak perlu menyusun visi lagi dan cukup menjadikan tujuan bernegara sebagai visi.
Yang harus dilakukan, bagaimana menurunkan tujuan bernegara (yang juga visi calon presiden) ke dalam misi atau agenda-agenda sentral bilamana terpilih sebagai presiden.
Jikalau semua calon meletakkan tujuan bernegara menjadi visi, tidak perlu ada perdebatan dan kita tidak perlu khawatir karena semuanya hendak mencapai tujuan bernegara.
Kini, sebelum melangkah lebih jauh, wacana menghidupkan lagi GBHN harus dikunyah secara mendalam. Sebab, kita tidak ingin perubahan-perubahan mendasar dilakukan dengan logika politik semata.
Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Wacana Menghidupkan GBHN".
Sumber : Harian Kompas