Mampetnya Proses Komunikasi Pembangunan KA Cepat Jakarta - Bandung
Polemik rencana pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta - Bandung terus bergulir
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik rencana pembangunan jalur kereta api cepat Jakarta - Bandung terus bergulir. Pemerhati lingkungan menyebut Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) proyek yang didanai Tiongkok itu dikerjakan "asal-asalan".
Sementara itu pengamat kebijakan publik menilai rencana pembangunan itu melabrak berbagai aturan tata ruang wilayah. Sedangkan data dari luar mengganggap biaya pembangunan kereta cepat itu sangat fantastis mahalnya.
Pengamat komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi melihat dari awal proses perencanaan pembanguna kereta cepat koridor Jakarta - Bandung menuai masalah.
Mulai dari proses penunjukkan Tiongkok yang mengalahkan penawaran Jepang yang lebih mempuni dengan "shinkazen-nya", ketidakkompakan anggota kabinet Jokowi soal rencana ini serta proses keluarnya Amdal.
"Artinya ada proses komunikasi yang tidak terbuka dan tidak transparan mengenai pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung ini. Jadi wajar publik menilainya sebagai akal-akalan sebagian pihak yang terlalu memaksakan kehendaknya untuk menggegolkan proyek ini," kata Ari, Rabu (27/1/2016).
Harus juga dipahami, lanjut Ari, urgensi pembangunan kereta cepat ini juga tidak terlalu ada urgensinya dengan ketimpangan transportasi laut di Maluku misalnya.
Jadi, katanya lagi, kalau mau dikaitkan dengan jargon Jokowi mengenai tol laut dan pengembangan sabuk maritim, pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung sangat menciderai rasa keadilan yang paling hakiki.
"Yang diuntungkan hanya komprador Tiongkok dan pengembang perumahan yang menyasar perkebunan Walini serta oknum-oknum di pemerintahan Jokowi, " ujar Ari Junaedi.
Pengajar Humas Politik dan Komunikasi Politik di UI ini menambahkan, tidak ada cara lain bagi Jokowi untuk membatalkan proyek mubazir ini ketimbang membawa derita di kemudian hari.
Menurutnya, ketidakhadiran Menterj Perhubungan Ignatius Jonan dalam acara ground breaking pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung beberapa hari lalu menjadi penanda adanya mis komunikasi dan ketidakkompakkan di tubuh kabinet.
"Belum lagi pernyataan Kepala Staf Angkatan Udara yang menolak Halim Perdanakusumah dijadikan sebagai halte pemberhentian kereta cepat," Ari Junaedi menegaskan.
Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan Presiden Joko Widodo menampung semua masukan dari berbagai pihak terkait pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Ini setelah groundbreaking ini kan ada hal yang menyangkut keputusan pelaksanaan proyek kereta, ada masukan-masukan. Ini yang kami baca di publik ya, ada dari Anggota DPR, ada dari kelompok masyarakat, tentu ini didengar oleh Presiden," ujar Johan.
Terkait adanya perdebatan mengenai izin yang belum rampung, Johan mengatakan kendala tersebut masih bisa diatasi seiring pelaksanaan proyek pascaground breaking.
"Ditengah-tengah keputusan itu ada kemudian beberapa hal kemudian jadi perhatian publik, misalnya soal perizinan yang kemudian disampaikan Menteri LHK dan Menhub, itu bisa jalan dalam proses itu bisa jalan walaupun groundbreaking sudah," kata Johan.
Johan juga mengatakan Presiden ingin para menteri terkait segera merespon setiap masukan yang disampaikan publik terkait proyek kereta cepat.
Dan Presiden, lanjutnya, kementerian terkait apakah kementerian BUMN apakah itu Kementerian Perhubungan dan Kementerian LHK, seharusnya respons terkait dengan proyek ini.
"Kemudian setelah groundbreaking ada suara-suara yang berbeda, tentu ini masukan buat Presiden ya untuk kemudian menanyakan kembali ke menteri terkait," ucap Johan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.