Pakar Hukum: Tuntutan Pada Gatot Pujo Kurang Berat Karena Faktor Jabatannya Sebagai Gubernur
"Tuntutan harus ada efek jera agak tidak ada lagi pejabat publik seenaknya menggunakan uang negara," tegas pakar hukum UI.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum Universitas Indonesia (UI) Gandjar Bondan menilai tuntutan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho kurang berat.
"Tuntutannya kurang berat, terutama dibandingkan ancaman pidana maksimal yang diatur Undang-undang (UU)," tegas Bondan kepada Tribun, Rabu (17/2/2016).
Pengamat Hukum ini pun katakan tuntutan itu juga kurang berat mengingat unsur kedudukannya sebagai Gubernur.
"Kurang berat mengingat unsur kedudukannya sebagai Gubernur," kritiknya terhadap tuntutan Jaksa KPK itu.
Senada dengan itu juga Praktisi hukum Lelyana Santosa menilai sangat rendah tuntutan Jaksa KPK terhadap Gatot Pujo Nugroho, yakni hanya 4,5 tahun penjara.
"Terhadap pejabat publik tuntutan itu terlalu ringan," ujar Lelyana kepada Tribunnews.com, Rabu (17/2/2016).
Belum lagi, dia ingatkan bahwa putusan hakim biasanya dibawah tuntutan Jaksa.
Apalagi kasus tersebut sehubungan dengan mafia peradilan.
"Tuntutan harus ada efek jera agak tidak ada lagi pejabat publik seenaknya menggunakan uang negara," tegas dia.
Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dituntut pidana selama 4,5 tahun penjara oleh Jaksa KPK.
Selain itu, Gatot juga dituntut membayar denda sebesar Rp 200 juta subsidair 5 bulan kurungan.
Demikian Jaksa KPK membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (17/2/2016).
Di waktu bersamaan, istri Gatot, Evy Susanti dituntut penjara 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsidair 5 bulan.
"Menjatuhkan pidana 4,5 tahun terhadap terdakwa 1 (Gatot) dan Evy 4 tahun, denda masing-masing Rp 200 juta subsider 5 bulan," kata Jaksa lrene Putrie.
Jaksa menilai Gatot dan istrinya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena menyuap tiga hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan sebesar US$27.000 dan Sin$5.000 beberapa waktu lalu.
Suap itu diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang sedang diajukan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ke PTUN Medan.