Mempersulit Calon Independen Sangat Tak Elegan Karena Tunjukkan Ketakutan Partai
Menaikkan syarat calon independen untuk mempersulit calon independen untuk mengikuti Pilkada 2017 sangat tidak elegan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sugiyarto
Dalam demokrasi modern, kesempatan itu diberikan pada awalnya kepada partai politik sebagai pilar demokrasi dengan sejumlah kewenangan kepada legislative terpilih.
Sejumlah kewenangan dimaksud misalnya, kewenangan urusan legislasi, anggaran, pengawasan dan lain lain.
Tetapi sasaran utamanya kata dia, adalah partai politik sebagai corong supaya kepentingan masyarakat luas diakomodir menjadi arah kebijakan pemerintah pusat dan local.
Tujuannya hanya satu yakni bagaimana mendekatkan keinginan masyarakat luas sejajar dengan yang dirumuskan oleh pemerintah.
Pengalaman pemerintahan otoritarianisme selama 32 tahun yang telah membelenggu demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru, kemudian melahirkan Era Reformasi dengan harapan pemerintah bersama partai politik mampu merumuskan apa yang menjadi keinginan masyarakat luas sebagai pemilih.
Sebab satu-satunya harapan dari setiap pembentukan negara adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas dengan cara pelayanan semaksimal mungkin untuk kepentingan warga baik kepentingan mendasar seperti makan, minum kesehatan, dan sarana transportasi dan lain-lain kebutuhan.
Tetapi ketika partai-partai dianggap justru sibuk dan asyik dengan agendanya sendiri yang jauh dari agenda dan kepentingan masyarakat luas, maka tidak ada forum lain bagi warga selain menentukan sendiri calonnya untuk diuji dalam pemilihan kepala daerah lewat jalur indepenen.
"Artinya, jalur independen itu adalah kritik terhadap keberadaan dan peran dari partai politik yang berkecenderungan justru menihilkan peran dan kepentingan masyarakat luas, partai justru hadir sebagai penguasa yang asing dari kepentingan masyarakat luas itu sendiri,” Osbin menjelaskan.
Kebanggaan demokrasi Indonesia adalah ketika pemilih diberi ruang untuk menentukan sendiri pemimpinnnya dalam pemilu, entah memilih calon independen atau partai politik. Jika yang menang justru calon independen, itu artinya rakyat tidak percaya lagi dengan partai plitik, karena sosok atau figure yang diusung oleh partai politik cenderung sosok yang sesuai menurut partai yang bersangkutan tetai mungkin malah tidak sesuai dengan harapan masyarakat pemilih.
Refleksi 2015
Osbin menganjurkan pentingnya berefleksi dengan pilkada serentak 2015 yang lalu, dimana di sejumlah daerah perkotaan terdapat fenomena jumlah suara sah pemilih dari daftar pemilih tetap tidak lebih dari 55 persen.
Bahkan di Kota metropolitan Medan Sumatera Utara, suara sah pemilih tidak lebih dari 25 persen dari daftar pemilih tetap.
Persepsi awal masyarakat awam berkesimpulan bahwa calon kepala daerah yang sedang bertarung tidak diminati pemilih, atau karena pemilih melihat tidak ada diantara dua calon yang bertanding itu yang memberi harapan perubahan.
Akhirnya yang terjadi adalah apatisme warga untuk memberikan suaranya.