Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Penampilan Anas Urbaningrum Saat Menghadiri Sidang Nazaruddin

Anas saat ini masih mendekam di Lapas, terpidana kasus korupsi tindak pidana pencucian uang proyek P3SON Hambalang.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Penampilan Anas Urbaningrum Saat Menghadiri Sidang Nazaruddin
Tribunnews.com/Wahyu Aji
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hadir dalam sidang pemeriksaan saksi dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (23/3/2016). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Lama tak terlihat, Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hadir dalam sidang pemeriksaan saksi dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (23/3/2016).

Anas saat ini masih mendekam di Lapas, terpidana kasus korupsi tindak pidana pencucian uang proyek P3SON Hambalang.

Anas bersama 15 saksi lain yang dihadirkan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) dan diminta memberikan keterangan terkait dugaan pencucian uang yang dilakukan Nazaruddin.

Mengenakan kemeja putih lengan panjang dan menggendong tas berwarna hitam, Anas tidak banyak berkomentar saat ditanya kesaksian apa yang ia sampaikan di hadapan Majelis Hakim nanti.

"Saya diundang oleh jaksa untuk hadir, ya sudah gitu saja," kata Anas kepada wartawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (23/3/2016).

Selain Anas, jaksa juga menghadirkan istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, Sekjen DPR RI Winantuningtyastiti dan sejumlah saksi yang sudah diperiksa sebelumnya oleh penyidik KPK.

Diketahui Anas harus menjalani hukuman penjara 14 tahun seletelah Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi yang diajukan dirinya.

Berita Rekomendasi

Majelis hakim memutuskan pidana 14 tahun penjara dengan denda Rp5 miliar subsider satu tahun empat bulan bulan kurungan.

"Sudah putus 14 tahun penjara, baru putus tadi sore. Menolak kasasi terdakwa dan mengabulkan kasasi penuntut umum (KPK)," kata Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi.

Majelis kasasi dipimpin oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar dan beranggotakan Hakim Agung Krisna Harahap dan Hakim Agung MS Lumme yang juga memutuskan mencabut hak dipilih Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) itu untuk menduduki jabatan publik.

Dari putusan itu, majelis hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindak Korupsi juncto Pasal 64 KUHP.

Kemudian, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), serta Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 l juncto UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU.

"Selain itu, Anas juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp57.592.330.580 (Rp57 miliar lebih) kepada negara. Apabila uang pengganti ini dalam waktu satu bulan tidak dilunasinya maka seluruh kekayaannya akan dilelang dan apabila masih juga belum cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama empat tahun," kata Suhadi.

Sebelumnya pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sebenarnya telah meringankan vonis mantan anggota Komisi X DPR RI ini menjadi tujuh tahun dari pidana delapan tahun penjara berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Oleh Pengadilan Tipikor, Anas yang merupakan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan proyek P3SON Hambalang.

Di dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal atau predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu kepada ketentuan Pasal 69 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa predicate crime tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.

Majelis kasasi menyatakan pula bahwa pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut merupakan hal yang keliru. Mengingat untuk memperoleh jabatan tersebut bergantung kepada publik. Sehingga, harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat itu sendiri.

Sebaliknya, majelis kasasi berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas