Setara Institute: Surat Keputusan Bersama Bentuk Diskriminasi Warga Eks Gafatar
SETARA Institute menilai Surat Keputusan Bersama terkait Gafatar merupakan bentuk pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara eks Gafatar.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) merupakan bentuk pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara yang pernah mengikuti ormas tersebut.
Surat itu ditandatangani Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri No. 93 Tahun 2016, Kep-043/A/JA/02/2016 dan No. 223-865 Tahun 2016 terkait Gafatar.
Wakil Ketua SETARA Institute, Bona Tigor Naipospos mengatakan pelembagaan diskriminasi adalah pembakuan pembedaan terhadap warga negara karena memiliki perbedaan tertentu yang dilakukan oleh negara yang dituangkan dalam bentuk produk hukum atau kebijakan.
"SETARA Institute mengecam SKB tersebut karena akan menjadi alat diskriminasi berkelanjutan bagi warga negara," kata Bona dalam keterangan tertulis, Senin (28/3/2016).
Ia menuturkan SKB adalah bentuk produk kebijakan yang diskriminatif karena maksud dan dampak yang akan terjadi dari adanya SKB tersebut ditujukan dan berpotensi melahirkan diskrimnasi baru yang berkelanjutan.
Menurutnya, SKB Gafatar sebenarnya kehilangan obyek, karena Gafatar sebagai organisasi telah membubarkan diri.
"Jadi, SKB ini mengatur sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat, karena yang saat ini dibutuhkan oleh warga negara yang pernah mengikuti Gafatar adalah hak atas persamaan di muka hukum untuk memperoleh perlindungan atas diri dan properti yang mereka miliki di beberapa wilayah," tutur Bona.
Ia melihat SKB bukannya melindungi tetapi malah melembagakan diskriminasi, yang sudah bisa dipastikan akan menimbulkan dampak lanjutan termasuk hilangnya hak-hak warga negara eks Gafatar.
Bona mengungkapkan seruan dalam SKB agar masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum dan menjaga kerukunan adalah seruan yang tidak masuk akal.
"Karena justru dengan adanya SKB kelompok masyarakat yang intoleran akan semakin agresif melakukan tindakan diskriminatif. Pemerintah tidak pernah belajar dari masa lalu, dimana kriminalisasi keyakinan bukanlah jalan keluar untuk mengatasi berbagai dinamika dalam beragama/berkeyakinan," katanya.
Ia mencontohkan SKB Ahmadiyah yang terbit pada 2008, hingga kini telah menjadi alat efektif bagi kelompok masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan diskriminatif.
Bahkan SKB tersebut menjadi rujukan bagi pemerintah daerah membentuk peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota/gubernur untuk mendiskriminasi Ahmadiyah.
"Situasi yang sama akan terjadi pada eks pengikut Gafatar. Pemerintah gagal fokus dalam menangani eks Gafatar," kata Bona.
Ia menegaskan pemerintah menutup mata bahwa ribuan eks Gafatar di tempat-tempat dimana mereka terusir dari beberapa wilayah di Kalimantan, memiliki hak asasi yang wajib dipenuhi.
Mereka telah kehilangan hak atas penghidupan yang layak, hak atas properti, dan hak untuk bebas melakukan aktivitas sebagai warga negara.
"Bahkan anak-anak mereka mengalami keterputusan sekolah dan lingkungan sosialnya akibat pengusiran paksa dari lokasi mereka berhimpun," ujarnya.