'Ketua DPRD Sumut Minta 'Uang Ketok' Rp 52 M Agar RAPBD 2014 Disahkan'
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menghadirkan dua orang saksi dalam kasus suap
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar sidang dengan terdakwa Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara (Sumut) nonaktif periode 2014-2019 Ajib Shah Rabu (13/4/2016).
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menghadirkan dua orang saksi dalam kasus suap dalam pengesahan APBD 2010-2014, persetujuan Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Sumut 2012-2014, dan penolakan penggunaan hak interpelasi 2015.
Saksi pertama adalah Sekretaris DPRD Sumatera Utara Randiman Tarigan dan staf Pemrov Sumut Muhammad Ali Nafiah. Dalam kesaksiannya, Ali Nafiaf menjelaskan jika DPRD meminta uang komitmen yang disebut 'uang ketok' Rp 52 miliar untuk mengesahkan RAPBD 2014. Dari Rp 52 miliar 'uang ketok', baru tersalur Rp 6,2 miliar.
Ajib Shah yang berasal dari fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) baru menerima Rp 65 juta, anggota DPRD Sumut 2014-2019 Saleh Bangun dari fraksi Partai Demokrat baru menerima Rp 216 juta, Chaidir Ritonga dari fraksi Partai Golkar baru menerima Rp 135, dan Sigit Pramono Asri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang baru menerima Rp 135 juta.
Dia menjelaskan, tiap anggota dewan menerima 'uang ketok' dengan jumlah berbeda. Uang tersebut juga diberikan secara bertahap.
Ali yang menyerahkan 'uang ketok' kepada anggota dewan menambahkan, sisa uang yang diterima Ajib Shah berjumlah Rp 700 juta, Saleh Bangun Rp 2 miliar 40 juta, dan Chaidir Ritonga Rp 1 miliar. Sementara untuk Sigit Pramono Asri, politikus PKS itu tidak menerima langsung darinya. Menurutnya, uang tersebut ditangani langsung dari fraksi.
Kepada Jaksa Penuntut Umum, Ali menjelaskan, berdasarkan catatan yang dimilikinya, ada 89 anggota DPRD Sumut yang menerima 'uang ketok'. Dari 89 anggota dewan ini, seluruh uang diarahkan olehnya, kecuali 11 orang dari fraksi PKS. Ali mengaku, untuk jatah PKS, uang diberikan ke fraksi.
Kekurangan 'uang ketok' diberikan secara bertahap. Penyerahan sendiri dilakukan hingga 2015.
"Sampai 2015. Kami masih mendistribusikan kekurangan," kata Ali di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Gubernur Sumut non-aktif Gatot Pujo Nugroho sebagai pemberi suap terkait pengesahan APBD 2010-2014. Penerima suap adalah Ketua DPRD Sumut periode 2014-2015 Ajib Shah dari fraksi Partai Golongan Karya (Golkar).
Selain Ajib, ikut terlibat Ketua DPRD Sumut 2009-2014 dan anggota DPRD Sumut 2014-2019 Saleh Bangun dari fraksi Partai Demokrat, Wakil ketua DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014, anggota DPRD Sumut periode 2014-2019 Chaidir Ritonga dari fraksi Partai Golkar,
Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Kamaludin Harahap dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Wakil Ketua DPRD Sumut periode 2009-2014 Sigit Pramono Asri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
KPK menjerat Gatot dengan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Sedangkan, Ajib, Saleh, Chaidir, Kamaludin dan Sigit dijerat dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.