Kontroversi Pasal 'Guantanamo' di RUU Antiterorisme
Regulasi terbaru mencantumkan kewenangan penyidik ataupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama 6 bulan.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA– Dewan Perwakilan Rakyat akan segera membahas revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, isi draf rancangan UU itu masih menyisakan kontroversi terutama dalam Pasal 43.
Di dalam salah satu poinnya, regulasi terbaru mencantumkan kewenangan penyidik ataupun penuntut untuk menahan seseorang yang diduga terkait kelompok teroris selama 6 bulan.
Pasal ini dianggap memiliki banyak celah untuk penyalahgunaan wewenang.
Kekhawatiran itu diungkapkan Anggota Pansus RUU Antiterorisme, Arsul Sani.
Arsul bahkan menyebutnya sebagai pasal 'Guantanamo' yang merujuk pada nama penjara milik Amerika Serikat di wilayah Kuba.
Di tempat itu padatahun 2002, diketahui ratusan orang disembunyikan karena diduga terkait jaringan teroris.
“Ada pasal yang mengganggu yakni pasal 43 A yang disebut sebagai Guantanamo. Dalam konteks pencegahan, penyidik atau penuntut berhak menahan terduga teroris untuk proses pembuktian,” ujar Arsul dalam diskusi Satu Meja di KompasTV, Rabu (21/4/2016).
Dia menyebutkan pasal itu patut dikritisi. Pasalnya, kewenangan yang disebut sebagai bagian dari pencegahan itu bukannya dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tetapi justru penegak hukum.
Selain itu, pasal itu juga tidak menyebutkan secara jelas orang-orang mana saja yang patut dicurigai dan boleh dilakukan penahanan sementara itu. “Saya melihat ada problem di situ,” ucap Arsul.
Sementara itu, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengungkapkan proses penelusuran dugaan keterlibatan seorang teroris memang membutuhkan waktu yang lama, meski tidak sampai 6 bulan.
Penegak hukum, kata dia, harus menggali kaitan demi kaitan dengan orang-orang sekeliling terduga teroris itu.
Selain itu, penyidik juga perlu mendatangkan keluarga hingga tokoh agama yang didengarkannya untuk mengetahui tingkat radikalisme seseorang.
Dia menuturkan, di dalam pasal 43 RUU Antiterorisme ini sebenarnya bertujuan untuk mengutamakan sisi pencegahan.
Namun, apabila ada persoalan pada ayat pertama pasal itu yang terkait penahanan, dia mengatakan lebih baik dibuat pengaturan lebih rinci agar tidak ada pelanggaran HAM.
“Kenapa ayat itu turun, kami sudah berkali-kali mengundang para pihak, aparat penegak hukum. Komisi III bisa berikan penguatan agar tidak langgar HAM,” kata Irfan.
Arsul menambahkan, Pansus masih akan mengundang banyak pihak seperti akademisi, lembaga swadaya masyarakat, hingga ormas-ormas Islam untuk mendengar pendapat mereka tentang draf yang sudah ada.
Pansus, sebut dia, akan bersikap lebih berhati-hati dalam membahas RUU Antiterorisme ini. Apalagi, muncul dugaan pelanggaran HAM dalam kasus tewasnya terduga teroris Siyono.
Penulis: Sabrina Asril
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.