Bukan Miliaran, Ahok Cukup Gelontarkan Rp 1,6 Juta untuk Beli Materai
Calon perseorangan, harus mengumpulkan dukungan yang antara lain berbentuk fotokopi KTP, sedangkan materai yang dimaksud, dibubuhkan di setiap desa
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Syarat materai untuk dukungan bagi setiap calon kepala daerah yang maju melalui jalur perseorangan atau independen, bukanlah barang baru lagi di ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik mengatakan sejak 2005 lalu, syarat itu sudah diterapkan.
Calon perseorangan, harus mengumpulkan dukungan yang antara lain berbentuk fotokopi KTP, sedangkan materai yang dimaksud, dibubuhkan untuk setiap desa atau kelurahan.
"Jadi tidak menghitungnya satu orang satu materai, Bukan. Apabila ada satu pendukung di satu desa atau kelurahan, dibuat saja materai di sana untuk menyampaikan dukungannya," ujar Husni kepada wartawan, di restoran Dapur Sunda, Jakarta Selatan, Senin (25/4/2016).
Syarat itu menjadi perhatian semua pihak, dalam pembahasan draf Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pilkada.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang tengah mempersiapkan diri maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang melalui jalur perseorangan, memaknai syarat tersebut sebagai cara untuk menjegalnya.
Ahok menganggap syarat itu mengharuskan dukungan dari setiap warga Jakarta, harus dibubuhi KTP.
Sedangkan untuk Jakarta, syaratnya lebih dari 700 ribu KTP, yang akan menghabiskan miliaran rupiah untuk KTP.
Ahokpun meradang, dan mengeluhkan syarat tersebut.
Husni pun mengaku bingung, kenapa syarat tersebut belakangan bisa membuat banyak pihak gerah padahal sudah sejak 2005 lalu syarat itu sudah diterapkan.
Untuk DKI hitungan yang betul adalah materai seharga Rp 6000, dikalikan 267 kelurahan, atau sekitar Rp 1,6 juta bukan miliaran rupiah.
"Mungkin saja ada lima ratus ribu (pendukung di) satu desa (atau) kelurahan misalnya. Satu materainya. Jadi kita tidak tahu kenapa kemudian terlalu sensi (red: sensitif) ya isu itu," katanya.