ASITA Apresiasi Sidak Bebas Visa Menkomar Rizal Ramli
Ketua Umum Asnawi Bahar mengakui, selama ini pihaknya banyak dikomplain oleh banyak tour and travel anggotanya
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sidak Menkomar Rizal Ramli ke Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Senin, 25 April 2016 lalu diapresiasi oleh Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA).
Ketua Umum ASITA, Asnawi Bahar mengakui, selama ini pihaknya banyak dikomplain oleh banyak tour and travel anggotanya, soal implementasi kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK) itu, karena di lapangan masih tidak “visa free.”
“Kami semua sadar, sebetulnya BVK adalah kebijakan yang sangat bagus. Kami merasakan ada pertumbuhan rata-rata 5% setiap bulannya. Tapi sayang, koordinasi antarlembaga atau kementerian masih lemah. Sikap tegas Pak Menko Maritim Rizal Ramli dengan sidak itu membuat kami lega. Beliau menemukan sendiri, masih banyak keluhan soal wisman yang masih harus membayar visa on arrival, meskipun negaranya sudah dinyatakan berstatus BVK,” ungkap Asnawi Bahar, Selasa (26/4).
Dia yakin, kebijakan BVK yang diberlakukan pada 169 negara itu bisa menaikkan wisman ke tanah air. Deregulasi dengan BVK itu memudahkan orang asing untuk berkunjung ke tanah air.
Misalnya, di China ada kota seperti Shenyang, Chengdu, Wuhan, Dangdong, Xiamen, Anhui, Xi’an dan lainnya yang tidak ada KBRI atau KJRI. Untuk mengurus VISA, mereka harus terbang ke Beijing, atau Shanghai, atau Guangzhou? Yang jaraknya jauh dan merepotkan?
Mereka pasti akan memilih tempat wisata yang lebih mudah, murah, simple, tidak rumit, tidak harus antre menunggu, dan terbang di satu kota yang kehilangan waktu efektif. Dari sisi costumers, atau calon wisman, regulasi baru Bebas Visa itu sangat menguntungkan. Mereka juga tidak perlu membayar USD 35 setiap kali hendak mendapatkan izin masuk ke Indonesia itu.
Bagi Indonesia, mereka tidak membayar USD 35, tetapi selama di tanah air mereka membelanjakan USD 1.200 per kepala per visit. Angka USD 35 itu tidak seberapa dibandingkan dengan USD 1.200, yang 40 persen digunakan untuk kuliner dan souvenir, 30 persen untuk airlines, dan 30 persen untuk hotel dan akomodasi. Pajak yang dipungut dari hotel, restoran, souvenir, shopping itu kembali ke negara. Sisanya masuk ke industri yang menghidupi orang Indonesia juga.
“Kadang kami-kami ini sedih, dan bingung. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu, terkesan tidak didukung oleh unsur pemerintah sendiri. Jadi, kami-kami yang di lapangan ini selalu repot dengan complain para wisatawan, karena itu tidak ada dalam item biaya,” kata dia.
Penjelasan Asnawi Bahar yang asli Padang itu cukup masuk akal. Seperti diketahui, Senin (25/4), Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli melakukan inspeksi mendadak ke terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) di Tangerang, Banten.
Kedatangan Rizal Ramli ini tidak dimaksudkan untuk mengepret siapapun. Dia hanya ingin memastikan bahwa bebas visa itu harus cepat diimplementasi di lapangan, untuk menyongsong target 20 juta di 2019.
Dari sidak tersebut, Menko Maritim masih menemukan sejumlah turis dengan status BVK tetap membayar 35 dolar AS.
“Ini kan aneh. Masak program pemerintah terkesan tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah sendiri? Saya tidak tahu apakah kebijakan ini sudah diberitahukan ke bawah atau belum. Jangan-jangan kebijakannya hanya diketahui pada level atas saja,” tandas Rizal Ramli.
Dari analisa Asnawi, problem ini terjadi pada kunjungan wisatawan yang bersifat perorangan. Sedang yang melewati grup, tour operator dan travel agent, Asnawi menjamin clear.
“Kalau dari asosiasi semua sudah satu suara. Tidak ada pemungutan biaya pembuatan visa karena semua anggota kami sudah kumpulkan dan beri pengarahan soal kebijakan BVK,” ucapnya.
Solusinya, Asnawi menyarankan agar pemerintah rajin menggelar Rapat Koordinasi khusus tentang kepariwisataan.
“Dulu pernah dilakukan. Tapi dari 22 kementerian atau institusi yang diundang banyak yang tidak hadir. Saya menyarankan, industri dan pelaku pariwisata dilibatkan dalam rakor tersebut, terutama soal kebijakan bebas visa masuk itu,” kata dia.
Asnawi menjelaskan, bebas Visa itu bagian dari international openness, yang menjadi salah satu poin dalam pilar penilaian World Economic Forum (WEF). Semua mengakui kebenaran dari pilar itu, karena akan memudahkan orang untuk masuk ke negara ini, tanpa perlu harus mengurus Visa. Seperti orang yang di kota kecil di China
Apa kata pelaku industri tour and travel lain? Sebagai ujung tombak pemasaran pariwisata nasional, pelaku industri pariwisata berharap pemerintah serius memberikan dukungan terhadap kebijakan Bebas Visa Kunjungan yang sudah dikeluarkan Presiden Jokowi.
“Sejak BVK diberlakukan, kunjungan wisman asal Tiongkok naik sekitar 15,44 persen. Jepang, Australia dan Korea Selatan dan negara-negara yang ada kebijakan BVK-nya juga ikut naik. Kalau semua kementerian dan lembaga serius berkoordinasi, saya yakin target penerimaan devisa sebesar USD 20 miliar ini bisa tercapai,” papar Devita Hidayat, tour supervisor Nusaraya Tour.
Iva Musdalifa dari TX Travel juga mengungkapkan, yang paling sering terjadi adalah saat kedatangan tengah malam. Counter yang buka hanya dua, antrean panjang, dan itu menjadi alasan untuk skip underground.
“Saya usul di kedatangan internasional sebelum masuk ke counter itu dipasang tulisan Bebas Visa negara mana saja? Biar wisatawan bisa membaca sendiri dan tidak perlu bertanya-tanya,” kata Iva.
Hal senada diungkapkan Lentono, PT Wahana Wira Wisata (WWW) Tour and Travel Lombok. Usul dia, pintu masuk bebas Visa ini diberlakukan di semua Bandara di Indonesia. Jangan hanya 5 Tempat Pemeriksaan Imigrasi saja, Batam-Bintan, Medan, Jakarta, Surabaya, dan Denpasar.
“Sekarang wisman banyak yang mencari destinasi baru seperti Jogja, Lombok, Labuan Bajo, Bintan, Manado, dan lainnya. Biar memudahkan semua wisman yang masuk melalui pintu mana saja di wilayah Indonesia,” kata Lentono.
Masih banyak pelaku bisnis pariwisata yang berharap implementasi BVK itu tidak setengah-setengah. Tidak separoh hati.
Kini mereka menunggu, setelah sidak Menkomar Rizal Ramli itu, apakah masih akan marak lagi case Bebas Visa Kunjungan (BVK) yang “tidak free” itu? Mudah-mudahan membaik.