Keluarga Meradang Ruang Pertemuan Ba'asyir Seperti Akuarium
Keluarga protes keras atas kebijakan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat yang mengawasi secara ketat Ba'asyir.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keluarga pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba'asyir meradang.
Mereka protes keras atas kebijakan Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat yang mengawasi secara ketat Ba'asyir.
Kini, pengunjung Ba'asyir dibatasi dan diawasi dalam sebuah ruangan seperti akuarium.
"Soal pembatasan untuk komunikasi dengan keluarga. Jadi, kalau kami datang ke situ, kami hanya bisa bertemu di sebuah ruangan, yang kami sebut itu ruang akuarium," kata putra Ba'asyir, Abdul Rahim Ba'asyir di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (28/4/2016).
Rahim mengaku terkejut ayahnya di lapas tersebut harus masuk ke dalam sebuah ruangan dengan pembatas kaca.
Dia selaku pengunjung berada di ruang terpisah di balik kaca tersebut. Komunikasi pun dilakukan melalui alat interkom sehingga dimungkinkan materi obrolan direkam oleh pihak lapas.
Belum lagi, kamera pengawas CCTV terus merekam seluruh kejadian yang terjadi di ruang akuarium dan ruang pengunjung itu.
"Sehingga kebebasan untuk berkomunikasi terbatas. Mungkin juga komunikasi kami juga direkam," tuturnya.
Menurutnya, sel tempat Ba'asyir juga dipasang kamera pengawas CCTV. Kamera intai ini merekam seluruh aktivitas Ba'asyir selama 24 jam. Kebijakan pihak lapas ini melanggar hak privasi seseorang.
Atas kebijakan itu, keluarga dan tim kuasa hukum Baasyir terus mendesak agar pihak lapas yang berada di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM untuk mencabut kamera CCTV tersebut.
Ia menjelaskan, perlakuan seperti itu tidak layak diberikan kepada Ba'asyir. Sebab, Ba'asyir bukan 'narapidana nakal'.
"Yaitu napi yang dari dalam penjara mampu melakukan tindakan kriminalitas. Sedangkan selama ini beliau tidak pernah menunjukkan perilaku yang tidak baik. Dan itu diakui oleh seluruh kalapas di lapas-lapas sebelum di Lapas Gunung Sindur," ujarnya.
Abdul Rahum tidak sepaham jika upaya pengamanan dan pengawasan ketat terhadap Ba'asyir demi mengurangi penyebaran doktrin terorisme di dalam lapas.
Rahim pun mempertanyakan bukti bila Ba'asyir pernah menyebarkan atau berdakwah perihal ajaran terorisme ke pengunjung maupun tahanan atau napi lain.
"Jika selama ini ada bukti-bukti beliau mengajarkan terorisme, maka mari silakan dibuktikan dalam proses persidangan, proses pembuktian yang legal di negeri ini, sehingga kemudian bisa diambil tindakan. Jangan kemudian diambil keputusan secara sepihak, dipahami secara sepihak, lalu memberi perlakuan seperti itu," tantangnya.
Ia menegaskan sebagai anak dan sebagai pengunjung lapas tidak pernah diajarkan atau didoktrin oleh Ba'asyir untuk melakukan kekerasan maupun aksi terorisme.
Ia menduga pihak luar salah menyimpulkan atas isi dakwah Ba'asyir yang dilakukan sebelum dan setelah dia berada di balik tahanan.
"Soal ketegasan beliau dalam penerapan syariat Islam selalu dalam posisi mengajak orang-orang untuk kembali menjalani syariat-syariat Islam yang sesuai dan sempurna. Mungkin hal ini bagi beberapa orang dianggap ekstrim keras. Tapi, sebenarnya mereka mereka salah paham. Karena beliau tidak mengajarkan itu. Beliau justru menolak bentuk segala pemaksaan, kekerasan, apalagi pemaksaan dalam agama," urainya.
Ia mencontohkan, Ba'asyir menolak dan menyesalkan aksi sekelompok orang yang melakukan pengeboman di Starbuck dan pos polisi Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016, yang menewaskan empat pelaku dan empat warga sipil.
"Kata beliau seperti yang saya tanyakan langsung, beliau menyatakan bahwa pengeboman itu sebuah perlakuan yang salah dan tidak benar. Itu perbuatan yang mengakibatkan pelakunya dan yang terkait itu seharusnya ikut melaksanakan proses hukum yaitu membayar Diyat. Kalau tidak bisa, dia harus puasa dua bulan, karena dia membunuh orang-orang tidak berdosa," kata Rahim mengulangi ucapan Ba'asyir.
Meski protes atas perlakuan ketatnya pengamanan dan pengawasan terhadap Ba'asyir, Rahim bersyukur karena ayahnya yang telah berusia 78 tahun dan tengah menjalani masa isolasi di Lapas Gunung Sindur mendapatkan kebebasan dalam melaksanakan sejumlah kegiatan.
Di antaranya untuk Salat Jumat berjamaah, berolahraga pagi dan berjemur matahari di depan blok tahanan.
Hal itu tidak didapatkan oleh Ba'asyir saat masih menjadi napi di Lapas Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah sebelumnya.
"Saya tadi sudah ketemu dengan beliau. Alhamdulillah, secara umum kondisi beliau di Lapas Gunung Sindur jauh lebih nyaman dibandingkan di Nusakambangan," akunya. (coz)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.