Setara Pertanyakan Pembatalan Perda Intoleran dan Diskriminatif
Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Kemendagri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Kemendagri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah.
Ketua Setara Institute Hendardi mengungkapkan pembatalan ini memecahkan rekor praktik pembatalan perda yang sejak diberlakukannya otonomi daerah terus berlangsung.
Sebelumnya dari tahun 2002-2009 sebanyak 2.246 perda dibatalkan.
Berikutnya pada 2010-2014 sebanyak 1.501 perda dibatalkan. Dan pada November 2015-Mei 2015 sebanyak 139 perda dibatalkan.
"Jika ditotal maka sejak 2002 hingga saat ini terdapat 7.029 perda telah dibatalkan," kata Hendardi melalui keterangan tertulis, Selasa (14/6/2016).
Namun, kata Hemdardi, pembatalan dengan mekanisme pengawasan administratif oleh Kemendagri selaku organ pengawas pelaksana otonomi daerah tersebut hanya berfokus pada perda-perda yang berhubungan dengan pajak, retribusi, dan aturan lain yang pada intinya melemahkan daya saing dan memperumit birokrasi bisnis.
Sementara perda-perda yang diskriminatif dan intoleran atas dasar agama, keyakinan, peran jender, dan diskriminatif terhadap perempuan luput dari perhatian Kemendagri.
Jikapun Kemendagri pada Mei 2015 mengklaim membatalkan perda tentang larangan keluar malam bagi perempuan Aceh di atas pukul 23.00.
"Faktanya, ketentuan tersebut tidak di atur dalam perda Aceh (qanun) melainkan Intruksi Wali Kota Banda Aceh No. 2 Tahun 2015, yang bukan merupakan obyek pembatalan," ujar Hendardi.
Sementara dalam kelompok 3.143 perda yang baru dibatalkan, Hendardi mengatakan Kemendagri tidak merilis detail jenis perdanya.
Hendardi menuturkan Presiden Jokowi hanya menyebutkan bahwa jenis perda tersebut adalah meliputi perda yang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
"Apakah pembatalan ini mencakup 21 perda diskriminatif yang pernah kaji Mendagri? Atau apakah mencakup 365 perda diskriminatif yang dikaji Komnas Perempuan? Dan 53 perda diskriminatif," tanya Hendardi.